Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 12 December 2012

Ombak (1)

Aku merindukan Emak. Aku juga merindukan Bapak. Aku lebih merindukan Haikal dan Ibrahim. Dan rindu itu tak pernah berhenti sampai hari ini. Rindu yang mengiringi harapan, bahwa mereka hanya sementara pergi dariku, bahwa mereka sedang tersesat dan lupa jalan untuk pulang. Suatu hari, ketika peringatan hari spesial itu tiba, mereka datang padaku dengan rindu yang sama dan berkata. “Laila, kami sangat merindukanmu.”

Mataku mulai berair, lagi. Aku tersenyum. Senang mengetahui airmataku ternyata belum kering meski terkuras begitu banyak selama delapan tahun terakhir ini. Setidaknya airmata ini telah membuktikan bahwa hatiku masih basah. Basah oleh cinta dan rindu, yang tersisa setelah rasa kehilangan yang terlalu tiba-tiba.

Kakiku mulai terasa pegal dan aku berdiri. Menatap ke arah pasir putih di ujung bukit. Jika diperhatikan dengan seksama, lautan pasir itu menutupi sisa-sisa keramik lantai yang kini hampir menjadi puing. Dulu salah satunya adalah lantai rumahku. Dimana kehidupanku dimulai.

Bapakku seorang penjual ikan di pasar. Setiap tengah malam, ia pamit dan berjuang mendapatkan jatah untuk dijual. Emak menyusulnya setelah sholat subuh, membantu Bapak berjualan di pasar hingga matahari hampir melewati kepala. Aku, anak perempuan pertama mereka. Aku lahir tengah malam, saat Bapak sudah pergi ke ujung dermaga. Emak berjuang melahirkanku dibantu dukun beranak yang baik hati mau tinggal beberapa hari menemani Emak sebelum ia melahirkan. Mereka memberikanku nama Laila, keindahan malam. Semua orang bilang aku sangat mirip dengan Bapak.

Usiaku berbanding jauh dengan Haikal, adik laki-lakiku. Ia lahir ketika aku sudah duduk di kelas 6 SD. Wajahnya putih bersih, tidak kecoklatan sepertiku atau Bapak. Dia lebih mirip Emak. Rambutnya pun keriting seperti Emak. Hanya matanya yang serupa denganku. Haikal lucu saat balita. Karena kesibukan Emak, akulah yang lebih banyak merawat Haikal.

Tak sampai dua tahun, Bapak datang membawa pulang seorang bayi laki-laki lain. Tak seperti kelahiran Haikal yang disambut dengan gembira dan penuh sukacita, kedatangan bayi ini justru membuat orangtuaku murung. Bayi itu anak laki-laki adik Bapak yang tewas tertelan oleh lautan yang memberi kami makan dan sang Ibu juga menyusul tak lama kemudian karena tak kuat menanggung derita sendirian. Kali itu, Emaklah yang memberi nama. Ibrahim. Kata Emak, agar suatu hari anak ini menjadi anak yang tabah, tangguh dan teguh seperti Nabi Ibrahim AS.

Meski miskin, meski harus merasakan rumah yang sempit dan harus selalu berbagi. Aku bahagia. Emak dan Bapak yang harus giat bekerja, selalu pulang dengan wajah bahagia. Haikal dan Ibrahim tumbuh bersama, di bawah pengawasanku. Pekerjaan rumah tangga, sedikit demi sedikit menjadi tanggung jawabku. Bahkan akhirnya aku memasak.

Ada janji yang kulontarkan pada Emak.

“Akan kubuat toko kelontong seperti yang ada di kota untuk Emak. Supaya Emak tak berpanas dan berbau lagi saat berdagang. Emak tinggal duduk-duduk mengawasi pembeli yang datang. Lalu bisa menemani adik-adikku lebih sering.”

“Amiin… Semoga Allah mengabulkan niat baikmu ya Nak.”

“Aku akan merantau. Cari uang yang banyak untuk Emak dan Bapak. Kalau uangku sudah banyak, aku janji membuat toko itu nanti.”

Emak hanya tersenyum, hanya tangannya yang mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang. Tak ada kata-kata dari mulutnya, tapi mata yang berbicara kalau ia tak merelakanku pergi jauh darinya.

Tapi Emak tak pernah mencegah. Bahkan ketika hari di mana aku memutuskan untuk pergi. Emak hanya tersenyum, meski aku tahu senyum itu sangat dipaksakan. Emak menghindariku sejak seminggu sebelum aku berlayar meninggalkan Meulaboh, menumpang dengan seorang teman Bapak yang hendak ke Banda. Hanya Bapak yang akhirnya buka suara dengan kebijaksanaannya yang selalu kusegani.

“Emak takut tangisnya akan mengurungkan niatmu. Biarlah. Biar waktu yang mengobati rindu Emakmu nanti. Jagalah dirimu baik-baik, Laila. Jangan menuruti hawa nafsu, berusahalah semampumu tapi biarkan Allah SWT yang menunjukkan hasilnya. Ikuti saja air yang mengalir. Sebelum bekerja, ucapkanlah Bismillahi Tawakaltu Allaahu, Laa Haula Walaa Quaata Illaa Billaahi. Bekerja dan berusaha dengan mengingat Allah, bertawakal saat menjalaninya, lalu pasrahkan semuanya karena tak ada kekuatan yang lebih besar selain Allah.”

“Ya Bapak.”

“Sering-sering menulis surat untuk sekedar menawar rindu Emak dan adik-adikmu.”

“Ya Bapak.”

“Ingatlah Allah selalu, anakku.” Dan Bapak tiba-tiba diam. Ia berpaling ke arah lain, tangannya tampak sibuk menghapus air yang jatuh dari matanya yang hampir tak pernah kulihat basah. Aku tak sanggup menahan sedih. Kalau Bapak sampai menangis, berarti ia benar-benar sedang sedih. Aku juga menangis. Sedih karena harus meninggalkan orang-orang yang kucintai.

Nasehat itu masih terngiang sampai sekarang, Bapak. Nasehat itu ibarat api yang selalu membakar semangatku setiap hari baru tiba ketika aku berada di Jakarta. Berjuang dari bawah, sebagai seorang pembantu rumah tangga. Kemahiranku mengurus rumah tangga ternyata sangat membantu saat itu. Bahkan akhirnya aku bisa mengubah profesiku menjadi Baby Sitter dengan bekerja pada keluarga yang sangat baik. Berkat mengurus Haikal dan Ibrahim, aku bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih layak.

Tiap bulan, aku menyisihkan sebagian besar gaji untuk ditabung. Aku memang tak pernah mengirim ke kampung karena Bapak dan Emak melarangnya. Satu kali aku mengirimnya via pos, tapi tak pernah sampai. Entah siapa yang menerima dan kemana perginya weselpos itu, yang menguap seakan dibawa oleh semilir angin pantai Meulaboh. Lagipula, Emak dan Bapak merasa masih mampu untuk membiayai sekolah adik-adikku.

Kau bisa hidup dengan baik di sana, makan dengan layak dan berpakaian dengan baik sudah cukup bagi kami. Tak usahlah kau berbagi rezeki dengan kami, putriku yang cantik. Simpan untuk masa depanmu. Tenang saja, Emak dan Bapak masih sanggup bekerja. Allah akan mencukupkan kebutuhan kami. Insya Allah.

Itu yang ditulis Bapak ketika aku mengeluhkan soal wesel yang tak pernah sampai. Dan aku memang tak pernah mengirimkan uang lagi. Pikiranku Cuma satu, aku ingin menunaikan janjiku pada Emak. Toko Kelontong dengan ruangan berair-conditioner seperti yang pernah kami lihat ketika nonton televisi bersama dulu.

Sedikit demi sedikit, setelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya, aku masih terus menabung. Kalau lelah datang mendera, kularikan semua itu dengan mengadu pada Sang Kuasa atau menatap kembali beberapa foto Emak, Bapak dan adik-adik yang secara rutin mereka kirimkan padaku.

Beberapa lebaran terlewat tanpa kehadiranku, sampai kemudian aku tak lagi bisa bertahan. Hampir lima tahun berlalu, sebelum akhirnya aku ikut rombongan pemudik pulang melepas kangen pada keluarga. Terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba, Emak sampai memecahkan piring karena tak sabar untuk memelukku. Haikal, kini sudah hampir setinggi pundakku dan ia dengan bangga memamerkan kemampuannya menendang bola yang dulu sering kutertawai. Adikku yang terkecil, Ibrahim yang tak banyak bicara pun ikut ambil bagian menarik perhatianku dengan memperlihatkan sebuah lukisan yang indah di kamarnya. Lukisan bercorak pantai berpasir putih dengan seorang gadis yang menggandeng dua anak kecil. Itu pasti aku dan mereka.

Dulu kami memang banyak menghabiskan sore-sore yang indah di pantai dekat rumah kami. Di sanalah kami berlari-lari, dengan ujung celana basah, saling mencipratkan air asin itu ke wajah. Atau saat ombak sedang bersahabat, kami pun menyusui pantai mencari kerang-kerang besar yang kosong. Seperti dulu saat Bapak mengajarkan tentang musik lautan, akupun mengajari adik-adikku.

Kudekatkan kerang besar kosong itu di telinga mereka, lalu berbisik, “pejamkan matamu, adikku dan dengarkanlah musik lautan.”

Siisssh, sisssh, siiisssh… Desah musik lautan itu membelai telinga kedua adikku. Mata mereka bergerak-gerak mendengarkan dengan seksama. Saat mata itu terbuka, mereka terpukau.

“Itukah musik lautan, Kak?”

Aku mengangguk. Keduanya terperangah.

“Kok bisa? Kenapa…” Aku hanya tersenyum dan membentangkan tanganku lebar-lebar.

Ombak, dialah musik lautan. Kerang itu hanyalah perekam sang ombak. Ombak membawa berita tentang lautan. Tentang air, tentang persahabatannya dengan manusia, tentang kekuasaannya yang semakin luas, tentang makhluk-makhluk penghuninya yang diam namun menjerit karena perilaku manusia, tentang langit yang tercermin dalam kaca-kaca lautan nan bening.

Saat itu mereka tak mengerti. Namun seiring waktu, Bapak pun mengajarkan hal yang sama pada mereka. Bahwa ombak dengan musiknya sedang memberitahu kita apa isi hatinya. Bahwa manusia hanya perlu mendengarkan, melihat dan memahami untuk tahu bahwa ombak sedang berbaik hati atau menyimpan amarah.

Dalam surat-surat Bapak dan Emak, mereka bercerita tentang Ibrahim. Ibrahim-ku, adik kecil yang terlahir dengan jiwa puitis masih sering datang ke pantai untuk memejamkan matanya menikmati angin laut yang menyapu wajahnya dengan tangan terbentang dan membisikkan kata-kata yang tak jelas.

Kusentil pundak Ibrahim dengan pundakku. “Kamu masih melakukannya?”

“Apa? Melakukan apa, Kak?” tanya Ibrahim bingung.

“Bicara dengan laut tentu saja. Masih?”

Ibrahim tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Kalau lagi tak sekolah. Aku bilang sama laut, untuk membawa Kakakku kembali karena aku rindu padanya. Rindu mendengarkan musik lautan bersamanya.”

Senyumku lenyap. Batin ini terasa tercekat. Mataku yang tadi sanggup menahan airmata kini mulai terasa panas. Sebentar lagi, sedikit lagi bendungan airmataku bakal jebol. Dan untunglah Emak memahami ekspresi wajahku. Ia menepuk bahu Ibrahim, mengalihkan perhatiannya.

Lebaran itu, aku mengunjungi banyak orang. Entah itu teman-teman masa kecil, teman-teman ketika sekolah, juga keluarga Bapak dan Emak yang rata-rata pencari atau penjual ikan seperti mereka. Aku ingin melepas kerinduanku akan kampung halaman yang membesarkan diriku seperti sekarang.

Tak sekali aku datang memasuki perkampungan para nelayan. Bau amis ikan segar bercampur ikan asin yang sedang dijemur seperti mengembalikan ingatanku akan masa kecilku di kampung itu. Bermain-main di antara bangsal penjualan ikan, lalu bercanda berlarian di antara ikan-ikan asin yang dijemur bersama teman-teman. Semua masih segar dalam ingatanku. Betapa sederhananya kebahagiaanku saat itu, tak pakai sandalpun tak apa, yang penting bisa bermain, menunggu Emak dan Bapak selesai berdagang. Itu pula yang dilakukan Haikal dan Ibrahim kemudian. Bau yang menyengat itu bagai wangi kehidupan yang membuat kami takkan pernah bisa melupakan, bahwa lautan itu adalah sahabat.

Sayang, kemiskinan yang dirasakan banyak orang di kampung nelayan ternyata menyentuh hati terdalam Haikal. Seperti diriku yang ingin mengeluarkan kedua orangtua kami dari kubangan itu, Haikal pun ingin melakukan hal yang sama. Miskin membuat Haikal paham, apa artinya uang.

“Aku mau jadi dokter, Kak!” katanya dengan mantap. Wajah Haikal yang keras karena sering membantu Bapak berdagang tampak serius.

Bapak menunduk, Emak hanya tersenyum. Senyum Emak sangat tipis. Senyum itu bagai mengungkapkan perasaan putus asa yang menaungi harapan Haikal.

“Realistis saja, Kal. Jadi dokter itu biayanya sangat banyak.”

“Aku akan cari beasiswa. Aku juga akan bekerja sambil kuliah. Kalau Kak Laila bisa, aku juga bisa.”

Sorot mata yakin itu membuatku lega. Haikal punya mimpi, sama sepertiku dulu. Banyak orang apatis menerima mimpi itu, tapi Bapak tidak. Sekarang Bapak memang tidak mendukung Haikal seperti dulu mendukung aku, tapi aku percaya pada kekuatan harapan.

Aku berjanji menjemput Haikal kalau dia sudah menyelesaikan ujian terakhir Sekolah Menengah Akhirnya, dengan syarat dia menjadi yang terbaik. Aku tahu itu bukan janji yang sulit. Haikal itu cerdas sejak masih kecil dulu. Aku ingat, Bapak dan Emak pernah diundang menghadiri penghargaan siswa yang lulus terbaik ketika dia lulus dari sekolah menengah pertama. Aku yakin pula, kali ini Haikal juga pasti bisa melalui ujian akhirnya dengan nilai yang memuaskan.

“Janganlah takut, Emak! Aku akan menjaga Haikal baik-baik. Sayang kalau otak yang begitu encer disia-siakan begitu saja. Biarkanlah dia meraih cita-citanya menjadi dokter, Mak. Dulu Emak bisa melepasku, kenapa tidak pada Haikal?”

Emak menghela nafas. Ia tak menyahut. Tangannya tetap sibuk mengumpulkan piring-piring kotor yang baru selesai kami gunakan tadi setelah makan malam.

“Biarkan itu di situ, Mak. Biar aku yang mengerjakan,” bisikku sambil menyentuh bahu perempuan yang rambutnya kini sebagian telah memutih.

Emak tersenyum tipis. Ia menepis tanganku dengan halus. “Dulu, Emak berharap punya anak-anak yang selalu ringan tangan dan mau membantu pekerjaan Emak. Bahkan meski sekedar membereskan tempat tidur saja. Bukan main senang hati Emak melihat kalian benar-benar tumbuh jadi anak-anak yang begitu rajin. Terutama kau, Laila. Sampai kemudian, kau merantau…”

“Emak baru sadar, banyak hal yang telah Emak lewati selama ini. Emak jarang membuatkan kue yang kau suka. Emak jarang memasakkan sayur lodeh yang selalu kau lahap dengan cepat. Emak merasa terlalu banyak hal yang jarang dan mungkin tak pernah Emak lakukan untukmu. Maka sekarang, saat kau di sini, Emak ingin melakukannya untukmu. Emak ingin membereskan tempat tidur untukmu, menyetrika lagi pakaianmu, memasak untukmu bahkan mencuci setiap piring kotor yang kaupakai. Buat Emak, inilah kesempatan Emak untuk mengurusmu, putriku. ”

Emak berbalik. Aku tahu, ia pasti menyembunyikan tangisnya lagi. “Jangan menangis, Mak! Menangislah kalau Emak merasa bahagia, jangan menangis karena Emak merasa susah karena setiap tetes airmata Emak akan menjadi dosa bagiku. Maafkan Laila, Mak,” kataku sambil memeluknya dari belakang.

Perempuan yang kini hanya setinggi bahuku itu mengangguk dan aku bisa merasakan tangisnya yang makin kencang. Sungguh Emak, kaulah ibu terbaik yang kumiliki dan kau telah memberikan segalanya untukku.

“Kalau Haikal ingin kuliah di Jakarta, Emak bukannya tak rela. Emak hanya sadar, Emak juga jarang bersamanya selama ini. Emak tak tahu lagi. Masih adakah umur Emak saat nanti ia kembali?”

“Emak!” Haikal masuk dengan wajah memerah. Matanya tampak berkaca-kaca. “Jangan berkata seperti itu, Mak!” sambungnya.

“Haikaal…” Nada suaraku meninggi mendengar Haikal yang berkata pada Emak dengan intonasi sedikit tinggi.

“Haikal kuliah ini untuk Emak dan Bapak. Haikal ingin jadi dokter untuk Emak. Emak sering bilang obat kampung lebih manjur daripada obat dari dokter, padahal itu karena Emak tak sanggup membayar obatnya kan? Haikal ingin menjadi dokter yang bisa memberikan obat yang murah, Mak. Supaya Emak dan Bapak selalu sehat, lebih banyak waktu untuk bersama Kakak, Haikal dan Ibra. Emak harus menunggu dengan sabar, supaya ilmu Haikal tak sia-sia.”

Emak menoleh. Airmatanya yang hampir mengering, kini kembali menggenang. Tapi sorot mata Emak kini berbeda. Sorot mata bangga.

Di hari kepulanganku, setelah selesai sholat subuh aku berpamitan pada laut. Bersama Ibrahim, aku membentangkan tanganku selebar mungkin dan berbisik. “Selamat tinggal, Lautan! Jadilah sahabat yang baik untuk semua orang yang ada di sini dan tunggulah aku pulang.”

Tak seperti kepergianku sebelumnya, kali ini Bapak yang berat melepasku. Berkali-kali saat mengantarkanku ke terminal bus, dia menghela nafas berat. Tapi, akhirnya aku pergi juga. Dengan perasaan yang jauh berbeda. Kali ini entah mengapa, ada sesuatu yang kosong terasa begitu menyakitkan saat melihat sosok Bapak yang menjauh dari pandangan.

Setahun berlalu. Ternyata rencanaku tak semuanya berjalan lancar. Aku memutuskan untuk membuka usaha di Jakarta. Aku lelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lain, dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun ternyata, keputusan itu cukup tepat. Penghasilanku semakin hari semakin meningkat, meski terkadang ada saat-saat yang sepi namun kini aku bisa mengontrak rumah dengan lebih layak. Bapak pun pernah datang sekali ke Jakarta untuk menengok. Saat itulah aku meminta membawa sebagian kecil tabungan untuk memperbaiki rumah kami menjadi rumah dengan lantai keramik dan dinding batu seperti yang diimpikan Haikal selama ini.

Aku mengabarkan pada keluargaku kalau aku akan pulang. Kali ini aku naik pesawat. Tak lagi menyusuri jalanan nan rumit Pulau Sumatera, tapi memakai kendaraan cepat. Kuceritakan dengan bangga pada orangtuaku melalui surat. Dalam surat juga kusebutkan kalau sekarang aku bisa membelikan mereka telepon genggam. Suatu hari nanti takkan perlu lagi kami berkirim surat.

Dan aku melupakan sang Ombak…

Bersambung....
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena