Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 1 June 2012

Aku Sakit Karena Asap Rokokmu!

Aku sakit! Sakit di sekujur tubuhku.

Paru-paru yang sehat, dilahirkan dengan sempurna oleh Bunda tercinta kini hitam legam terbakar. Asma menggerogotiku, flek paru santapan sehari-hariku dan akhirnya kanker paru parah menggigit habis bagian-bagian terpenting dalam paru-paruku.

Hatiku bukan lagi berwarna merah, dia juga terbakar, menghitam bak bara yang hampir padam. Terbakar bukan karena kemarahan dan rasa geram yang tertahan, tapi karena ia telah teracuni oleh karbon monoksida.

Jangan tanyakan bagaimana jantungku, yang semakin lama semakin lemah berdetak. Oksigen yang ia butuhkan tak lagi bisa kuhirup dengan leluasa, karena darahku yang teracuni telah pelan-pelan merusak fungsinya tanpa kusadari.

Ya, aku sakit karena asap rokokmu masuk ke paru-paruku, meracuni sel-sel darahku hingga merusak bagian-bagian penting dalam tubuhku!!!

Aku ingin berteriak pada mereka. Hentikan! Tolong berhentilah merokok! Usiaku baru duapuluhan, usia produktif yang bisa menghasilkan banyak prestasi, dan aku masih punya banyak mimpi yang belum kuwujudkan.

Bagai bayangan yang tak bisa lepas dari tubuhku, asap rokok mengelilingi di sepanjang hidupku. Asap itu mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Aku ingin lepas darinya, aku takut berhadapan dengannya, aku alergi mencium baunya tapi itu sia-sia. Keinginanku hanyalah mimpi yang takkan pernah bisa terwujud. Asap rokok itu sepertu hantu!!

Itu teriakan yang ingin kuucapkan pada setiap insan perokok yang pernah berhadapan dengan saya. Aku menjadi perokok pasif, karena hampir di sepanjang usia produktif, aku selalu berhadapan dengan para perokok. Entah itu saat aku berada di jalanan, di gedung kantor, di ruang bawah tanah, di gedung tertinggi, di parkiran, di mall bahkan saat berada di dalam ruangan yang ber air conditioner.

Dulu, seringkali tulisan “DILARANG MEROKOK” justru dijadikan bahan candaan oleh mereka. Seakan tak bisa membaca tulisan berukuran besar itu, mereka tetap saja dengan santai menghembuskan asap mengisi seantero ruang meski air conditionerbersuhu 16 derajat sedang menyala dengan baik.

Di ruang kerja pun sama, semakin stress mereka menghadapi tantangan yang sedang diberikan maka itu berarti aku harus bersiap menjawab stress itu dengan menerima asap rokok mereka. Aku dituntut mengerti atas kondisi mereka yang sedang penuh tekanan, sementara mereka sama sekali tak mengerti kalau asap rokok mereka juga meracuni tubuhku.

Ketika berada di dalam kendaraan umum, meski sudah menunjukkan ketidaknyamananku dengan batuk-batuk kecil, mengibas-ngibaskan tangan, tetap saja si perokok supercuek itu memamerkan asap rokoknya dengan bangga. Malah pernah aku melihat seorang perokok membuat bulatan-bulatan kecil dari asap rokoknya dengan penuh kebanggaan. Ditegur bukannya sadar, mereka malah memarahi aku yang memilih kendaraan umum. “Kalo mau enak, ya naik mobil sendiri dong!” Itu kata mereka.

Di jalanan, aku harus pasrah menerima keadaan. “Ini jalanan, hai perempuan! Udara adalah hak setiap orang,” teriak si perokok tak peduli dengan peringatanku. Udara adalah hak setiap orang, tapi racun dari asap rokokmu bukanlah kewajiban kami untuk mendapatkannya.

Aku bisa mencuci rambut atau bajuku yang berbau asap rokok setiap hari, tanpa bagaimana caraku mencuci racun yang hari demi hari makin bertumpuk di tubuhku? Sebagus-bagusnya aneka obat-obatan, aneka jamu ataupun minuman yang kugunakan “mencuci” racun dalam tubuhku. Cara terbaik adalah tidak mendapatkan asap rokok yang menyebabkan semua itu.

Bagi perokok, asap rokok adalah pengusir kesepian, pereda kedinginan bahkan sebagai pengalih perhatian. Tapi bagiku dia adalah setan perusak kesehatan, penghapus semua impian dan pembunuhku suatu hari nanti.

Aku berusaha keras melindungi rumahku, keluargaku dari asap rokok yang menjengkelkan. Kuminta Papa jangan pernah menyentuh rokok, kumarahi adikku agar tak merokok, kupilih suami yang bukan perokok dan kelak akan kuwasiatkan pada anak-anakku, jangan pernah merokok. Bukan hanya karena aku peduli kesehatan mereka, tapi juga karena aku tak mau mereka kelak menanggung dosa seumur hidup sebab telah membunuh banyak orang tanpa pernah kau sadari.

Siapa yang akan kumintai pertanggungjawaban saat dokter memvonisku dengan komplikasi penyakit? Paru-paruku, jantungku, hatiku dan kini perutku semua rusak karena asap rokok. Aku ingin menjerit dan ingin berteriak marah.

Salahkah permohonanku? Tolong, jauhkan asap rokok itu dariku!!! Jauhkan mesin pembunuh nomor satu itu dariku!

Aku ingin hidup, aku ingin sehat, aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku punya jutaan alasan untuk tetap bertahan hidup, aku tak perlu rokok untuk membantuku kuat menjalani hidup, aku tak perlu rokok untuk mengalihkan perhatian dari penderitaan, aku tak perlu rokok untuk mengusir kebingunganku. Aku sanggup hadapi semua itu tanpa rokok di tanganku.

Beri aku alasan, kenapa kau tak takut fatwa haram yang mengiringi setiap rokok yang kau isap?

Beri aku alasan, ketika setelah beribadah kau memilih tetap membunuh orang lain dengan menghembuskan asap rokokmu meski itu dosa yang sama?

Beri aku alasan, apa salahku hingga kau membagi asap pembunuh padaku? Beri aku alasan!!! Beri aku lasan!!!

Jangan kau salahkan pabrik rokok karena ia takkan ada tanpa permintaan! Jangan kau salahkan aku yang tak bisa diam di rumah saja! Jangan salahkan pemerintah yang terlalu bodoh memberikan izin! Karena ini semua salahmu, salah setiap orang yang merokok!

Bagaimana kalau aku putrimu? Bagaimana kalau aku istrimu? Bagaimana kalau aku Ibumu? Bagaimana kalau aku saudarimu? Tegakah kamu membunuh keluargamu sendiri? Dengan tanganmu yang melinting rokok, dengan mulutmu yang menghembuskan asap.

Aku sakit karena asap rokokmu!!


*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena