Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Wednesday 13 June 2012

Menghitung Nikmat

“Habis ini apalagi yah?” itu pertanyaan saya setengah kelelahan setelah serangkaian pemeriksaan yang harus saya lewati. Saya benar-benar kehabisan tenaga karena menunggu berjam-jam, disuntik berkali-kali karena perawat sulit menemukan aliran yang tepat hingga berbagai peralatan yang diujikan di tubuh saya untuk memastikan saya siap menjalani operasi. Jangan tanya berapa lebam di kedua tangan akibat suntikan berkali-kali itu, karena saya sendiri sudah kebal oleh rasa sakitnya.

Saya lelah, karena kesekian kalinya Allah menurunkan penyakit lagi untuk saya. Ya Allah…. belum cukupkah perubahanku? Belum mampukah Kau memaafkan kesalahan-kesalahanku di masa lalu? Dan akhirnya muncul pertanyaan itu… Habis ini apalagi yang harus saya lewati? Berapa banyak lagi operasi yang harus saya jalani? Berapa banyak ujian lagi yang harus saya tempuh?

Sampai di malam setelah operasi saya selesai. Seorang Ibu, dirawat di kamar yang sama dengan saya. Ibu Rohani namanya. Seorang Ibu yang tak lagi muda, tapi begitu gigih berjuang. Ia mengalami pecah ketuban di usia kehamilan yang baru memasuki bulan ke-enam. Karena infeksi yang sudah menjalar, maka satu-satunya jalan adalah melahirkan si jabang bayi. Ibu itupun diinduksi. Di saat bersamaan saya baru mendapatkan kesadaran penuh setelah dioperasi sepanjang pagi hingga siang menjelang.

Rasa sakit, membuat si Ibu mengerang sepanjang malam hingga pagi. Saya benar-benar tak tega mendengarnya hingga lupa rasa sakit di perut sendiri. Erangannya sungguh mengiris hati karena berkali-kali memanggil memohon bantuan sang Ilahi dan tak ada satupun familinya menunggui karena di RS Islam hanya wanita yang diizinkan menunggu. Saya meminta adik yang menunggui untuk menanyakan apa yang harus dilakukan, tapi karena adik berpengalaman diinduksi maka dia bilang lebih baik kami diam saja. Ibu itu memang sesekali diam, dan tertidur ketika rasa sakitnya hilang tapi kemudian saat kembali lagi rintihannya benar-benar membuat saya bahkan menitikkan airmata.

Sepanjang malam, saya seakan diingatkan. Allah memberi saya banyak kenikmatan diantara semua sakit. Setidaknya anak-anak saya terlahir sehat dan sempurna, setidaknya saya tak pernah mengalami sakit seperti itu, setidaknya saya selalu ditemani orang-orang yang mencintai saya, setidaknya saya merasakan nikmat menggendong bayi setelah sakit luar biasa. Sungguh, malam itu semua terasa diputar ulang dan mengingatkan Allah itu benar-benar Maha Pemberi Nikmat dan sayangnya saya lupa menghitungnya, malah menghitung kesulitan yang saya dapatkan.

Pagi hari, ketika keadaan saya jauh lebih baik. Saya memperoleh berita dari keluarga si Ibu, bahwa mereka kehilangan si jabang bayi. Padahal usia si Ibu tak lagi muda, sekitar 42 tahun dan baru pertama kali mengandung. Saya bahkan tak bisa membayangkan jika kehilangan harapan setelah lima bulan memangku mimpi yang indah. Karena membayangkan perasaan sendiri, hari itu saya melarang anak-anak menengok saya lama-lama. Dengan alasan ulangan dan kondisi abang yang kurang sehat, saya meminta anak-anak segera pulang. Saya tak mau mengingatkan si Ibu kalau ia melihat putra-putri dan keponakan saya yang super ribut kalau datang.

Karena kondisi fisik saya juga sempat drop (tensi turun hingga 80/60), saya lebih banyak tidur sepanjang hari minggu setelah operasi. Suami yang menggantikan adik di siang hari juga kelelahan, hingga kami sama-sama tertidur hingga tak menyadari ketika ibu itu masuk setelah selesai persalinan dan telah dikuret.

Malam hari, ketika saya akhirnya… bisa makan dan minum juga duduk bahkan berjalan, saya membuka pelan-pelan tirai pemisah ruang untuk membuat si Ibu tak merasa sendirian. Ibu itu sedang melamun sendirian, dengan berzikir sayup-sayup. Ia tersenyum dan menyapa saya lebih dulu. Dan kata-kata pertamanya. “Maaf ya mba kalau kemarin malam saya sudah mengganggu istirahatnya. Saya benar-benar tidak bisa tidak mengerang karena sakitnya benar-benar… ” dan dia terdiam. Mimiknya sedih sekali.

Saya benar-benar tersentuh. Ya Allah, bukannya menceritakan penderitaan yang baru saja dialaminya, ia malah meminta maaf untuk sesuatu yang harusnya pasti saya pahami.

Kami mulai saling bertukar cerita, bertukar pengalaman, saya juga meminta maaf karena tak tahu harus berbuat apa semalam ketika ia merintih kesakitan. Dan ketika ia mencurahkan isi hatinya, saya lebih banyak terdiam dan merenung. Dia bilang kehilangan bayinya bukanlah penderitaan, itu adalah ladang keimanannya. Allah mungkin tak memberinya kesempatan padanya berladang iman sebagai seorang Ibu, tapi dengan memberinya kesempatan memberi rasa sakit karena melahirkan, meniupkan nyawa pada bayi itu walaupun hanya beberapa menit, sudah memberikan banyak pelajaran betapa luasnya ladang iman yang disediakan Allah untuknya. Dia tersenyum bahagia membayangkan betapa beruntungnya ia nanti karena kelak almarhumah putrinya menjadi bidadari kecil yang menolongnya melewati shirothul mustaqim.

Terus terang saya sedikit manja kalau sedang sakit, tapi melihat kesakitan Ibu itu seakan membuka mata saya bahwa penderitaan saya seakan tak ada apa-apanya dibandingkan kesakitannya. Saya juga berhasil memaksa diri bangun untuk sholat sambil berdiri karena merasa bodoh memanjakan diri untuk sesuatu yang tak ada bandingannya dengan rasa sakit yang sesungguhnya. Rasa sakit karena kehilangan. Di antara rasa sakit, saya justru diberi nikmat yang besar. Saya memiliki keluarga, yang diantara semua kesibukan mereka segera menengok dan bergantian menjaga. Bahkan adik iparpun yang hampir berangkat ke luar negeri untuk bekerja, menyempatkan diri menjenguk saya dulu. Seluruh keluarga yang menyebar berkumpul di ruang rawat saya, halaman facebook penuh dengan ucapan doa dari sahabat dan kawan, dan telepon genggam penuh dengan doa keselamatan agar saya cepat sehat lagi. Saya benar-benar kaya, sangat kaya dibandingkan Ibu yang hanya memiliki satu harapan yang itupun direnggut darinya.

Dan subuh tanggal 11 Juni 2012, saya bersujud, menangis karena bahagia. Berterimakasih karena hanya diberi penyakit. Mungkin ini cara Allah meringankan beban dosa-dosa saya, mungkin inilah ladang iman saya yang sesungguhnya, belajar tentang penderitaan dan tidak melupakan kenikmatan yang selama ini diberikan untuk saya. Seharusnya saya bersyukur, terus bersyukur karena penyakit ini justru membuat saya tahu betapa berartinya hidup saya. Saat menonton DVD operasi saya, saya berkali-kali mengucap syukur karena lahir di zaman canggih hingga bisa memiliki harapan hidup yang lebih tinggi. Saya sekarang adalah saya yang dulu, namun sekali lagi belajar tentang arti hidup lebih baik. Saya ingin terus menghitung nikmat, berbagi nikmat dan berbuat lebih baik.

Kematian adalah rahasia Allah, singkat, cepat atau lambat bukanlah hal penting. Tapi bagaimana membuat agar apa yang kita jalani, adalah berguna untuk orang lain…..



&&&&&&
Read More

Friday 1 June 2012

Aku Sakit Karena Asap Rokokmu!

Aku sakit! Sakit di sekujur tubuhku.

Paru-paru yang sehat, dilahirkan dengan sempurna oleh Bunda tercinta kini hitam legam terbakar. Asma menggerogotiku, flek paru santapan sehari-hariku dan akhirnya kanker paru parah menggigit habis bagian-bagian terpenting dalam paru-paruku.

Hatiku bukan lagi berwarna merah, dia juga terbakar, menghitam bak bara yang hampir padam. Terbakar bukan karena kemarahan dan rasa geram yang tertahan, tapi karena ia telah teracuni oleh karbon monoksida.

Jangan tanyakan bagaimana jantungku, yang semakin lama semakin lemah berdetak. Oksigen yang ia butuhkan tak lagi bisa kuhirup dengan leluasa, karena darahku yang teracuni telah pelan-pelan merusak fungsinya tanpa kusadari.

Ya, aku sakit karena asap rokokmu masuk ke paru-paruku, meracuni sel-sel darahku hingga merusak bagian-bagian penting dalam tubuhku!!!

Aku ingin berteriak pada mereka. Hentikan! Tolong berhentilah merokok! Usiaku baru duapuluhan, usia produktif yang bisa menghasilkan banyak prestasi, dan aku masih punya banyak mimpi yang belum kuwujudkan.

Bagai bayangan yang tak bisa lepas dari tubuhku, asap rokok mengelilingi di sepanjang hidupku. Asap itu mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Aku ingin lepas darinya, aku takut berhadapan dengannya, aku alergi mencium baunya tapi itu sia-sia. Keinginanku hanyalah mimpi yang takkan pernah bisa terwujud. Asap rokok itu sepertu hantu!!

Itu teriakan yang ingin kuucapkan pada setiap insan perokok yang pernah berhadapan dengan saya. Aku menjadi perokok pasif, karena hampir di sepanjang usia produktif, aku selalu berhadapan dengan para perokok. Entah itu saat aku berada di jalanan, di gedung kantor, di ruang bawah tanah, di gedung tertinggi, di parkiran, di mall bahkan saat berada di dalam ruangan yang ber air conditioner.

Dulu, seringkali tulisan “DILARANG MEROKOK” justru dijadikan bahan candaan oleh mereka. Seakan tak bisa membaca tulisan berukuran besar itu, mereka tetap saja dengan santai menghembuskan asap mengisi seantero ruang meski air conditionerbersuhu 16 derajat sedang menyala dengan baik.

Di ruang kerja pun sama, semakin stress mereka menghadapi tantangan yang sedang diberikan maka itu berarti aku harus bersiap menjawab stress itu dengan menerima asap rokok mereka. Aku dituntut mengerti atas kondisi mereka yang sedang penuh tekanan, sementara mereka sama sekali tak mengerti kalau asap rokok mereka juga meracuni tubuhku.

Ketika berada di dalam kendaraan umum, meski sudah menunjukkan ketidaknyamananku dengan batuk-batuk kecil, mengibas-ngibaskan tangan, tetap saja si perokok supercuek itu memamerkan asap rokoknya dengan bangga. Malah pernah aku melihat seorang perokok membuat bulatan-bulatan kecil dari asap rokoknya dengan penuh kebanggaan. Ditegur bukannya sadar, mereka malah memarahi aku yang memilih kendaraan umum. “Kalo mau enak, ya naik mobil sendiri dong!” Itu kata mereka.

Di jalanan, aku harus pasrah menerima keadaan. “Ini jalanan, hai perempuan! Udara adalah hak setiap orang,” teriak si perokok tak peduli dengan peringatanku. Udara adalah hak setiap orang, tapi racun dari asap rokokmu bukanlah kewajiban kami untuk mendapatkannya.

Aku bisa mencuci rambut atau bajuku yang berbau asap rokok setiap hari, tanpa bagaimana caraku mencuci racun yang hari demi hari makin bertumpuk di tubuhku? Sebagus-bagusnya aneka obat-obatan, aneka jamu ataupun minuman yang kugunakan “mencuci” racun dalam tubuhku. Cara terbaik adalah tidak mendapatkan asap rokok yang menyebabkan semua itu.

Bagi perokok, asap rokok adalah pengusir kesepian, pereda kedinginan bahkan sebagai pengalih perhatian. Tapi bagiku dia adalah setan perusak kesehatan, penghapus semua impian dan pembunuhku suatu hari nanti.

Aku berusaha keras melindungi rumahku, keluargaku dari asap rokok yang menjengkelkan. Kuminta Papa jangan pernah menyentuh rokok, kumarahi adikku agar tak merokok, kupilih suami yang bukan perokok dan kelak akan kuwasiatkan pada anak-anakku, jangan pernah merokok. Bukan hanya karena aku peduli kesehatan mereka, tapi juga karena aku tak mau mereka kelak menanggung dosa seumur hidup sebab telah membunuh banyak orang tanpa pernah kau sadari.

Siapa yang akan kumintai pertanggungjawaban saat dokter memvonisku dengan komplikasi penyakit? Paru-paruku, jantungku, hatiku dan kini perutku semua rusak karena asap rokok. Aku ingin menjerit dan ingin berteriak marah.

Salahkah permohonanku? Tolong, jauhkan asap rokok itu dariku!!! Jauhkan mesin pembunuh nomor satu itu dariku!

Aku ingin hidup, aku ingin sehat, aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku punya jutaan alasan untuk tetap bertahan hidup, aku tak perlu rokok untuk membantuku kuat menjalani hidup, aku tak perlu rokok untuk mengalihkan perhatian dari penderitaan, aku tak perlu rokok untuk mengusir kebingunganku. Aku sanggup hadapi semua itu tanpa rokok di tanganku.

Beri aku alasan, kenapa kau tak takut fatwa haram yang mengiringi setiap rokok yang kau isap?

Beri aku alasan, ketika setelah beribadah kau memilih tetap membunuh orang lain dengan menghembuskan asap rokokmu meski itu dosa yang sama?

Beri aku alasan, apa salahku hingga kau membagi asap pembunuh padaku? Beri aku alasan!!! Beri aku lasan!!!

Jangan kau salahkan pabrik rokok karena ia takkan ada tanpa permintaan! Jangan kau salahkan aku yang tak bisa diam di rumah saja! Jangan salahkan pemerintah yang terlalu bodoh memberikan izin! Karena ini semua salahmu, salah setiap orang yang merokok!

Bagaimana kalau aku putrimu? Bagaimana kalau aku istrimu? Bagaimana kalau aku Ibumu? Bagaimana kalau aku saudarimu? Tegakah kamu membunuh keluargamu sendiri? Dengan tanganmu yang melinting rokok, dengan mulutmu yang menghembuskan asap.

Aku sakit karena asap rokokmu!!


*****
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena