Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 1 May 2012

Pesan Dari Syam


Dengan lembut aku menggenggam tangan yang terkulai itu lalu menciumnya lembut. Seakan menyadari kehadiranku, ia membuka matanya dan tersenyum tipis. “Sudah datang, Nur?” kuanggukkan kepala dan dia menatapku penuh rindu. Tak ada suara, hanya semilir angin sepoi-sepoi melalui jendela yang mengisi kamar kecil tempat wanita tua itu terbaring, namun seketika mengembalikan seluruh ingatanku tentangnya, tentang wanita tua yang kini terbaring di tempat tidur itu.

“Jangan pernah berhenti berusaha, karena manusia yang berhenti berusaha dan putus asa takkan pernah memenangkan atau mendapatkan apapun.” Itu pesan pertama yang dia katakan saat aku masih duduk di kelas lima SD, ketika aku menangis karena tak mampu mengerjakan tugas sekolah. Tangisku makin kencang, dan ia sama sekali tak membantuku. Namun kuingat malam itu, wanita tua itu duduk di belakangku sepanjang malam sampai kuselesaikan tugasku itu. Lalu sambil terisak, aku memperlihatkan catatan padanya. Dia tak mengkoreksi ataupun melihatnya, hanya tersenyum dan kembali berkata, “nah kan kalau diusahakan pasti bisa. Di dunia ini gak ada orang bodoh, sayang. Yang ada hanyalah orang malas. Lain kali kerjakan tugasmu dulu baru main.”

Aku memang menghabiskan setahun bersama. Setahun melanglang banyak tempat bersama wanita tua yang bernama Syam. Aku sayang padanya dan memilih tinggal bersamanya. Syam berbeda dengan orangtuaku yang sangat memanjakanku. Dia membesarkanku dengan cara yang sungguh-sungguh berbeda. Aku menemukan banyak hal baru saat bersamanya, bahkan hingga dewasa banyak pesannya yang membuatku tetap tangguh menghadapi dunia.

Tangannya selalu bergetar sejak Parkinson menyerangnya. Langkahnya tertatih saat berjalan dan tubuhnya yang rapuh seakan menunjukkan betapa lemahnya dia. Tapi tidak semangatnya. Meski kelihatan selalu lelah, kakinya tak pernah berhenti melangkah. Ia tak pernah absen mengajar meski tangannya harus bertumpu pada pundakku saat pergi ke sekolah. Ia tak pernah lupa mendatangi secara rutin semua anaknya yang tinggal dalam satu kota meski baru saja berkurang sakit kepala yang menyerangnya. Aku tak pernah paham mengapa ia begitu penuh semangat sementara aku sendiri saja sering merasa lelah.

“Kenapa harus jalan terus sih? Nur capek nih!” keluhku suatu hari.

Ia mengelus kepalaku sambil tersenyum. “Kewajiban seseorang itu salah satunya ya ini, Nur. Menjaga silaturahmi keluarga. Saling mengunjungi dan saling membantu jika diperlukan. Apalagi jika kau seorang Ibu, anak-anak takkan pernah berhenti meminta tolong bahkan setelah mereka menikah. “

Kala libur dan ia benar-benar sedang tak sanggup lagi berjalan, ia menghabiskan waktu di depan rumah. Dengan mata menerawang jauh menembus birunya awan, ia akan mulai mengenang sebuah cerita yang kerap diulang-ulangnya padaku. Kisah tentang seorang wanita pejuang bernama Syam.

Syam, seorang gadis yang dilahirkan dengan feodalisme yang begitu kental. Kakeknya seorang patih gagah berani yang sudah melanglang negeri hingga ke Belanda, kedigdayaan sang Patih begitu disegani kawan maupun lawan. Bahkan menurut kisahnya itu, kekuatan sang Patih sanggup membalik sebuah kapal perang. Dan Syam sangat bangga pada sang Kakek. Kakeknya pula yang membuka mata dan pandangan Syam tentang dunia. Semangatnya dan prinsip hidup sang Kakek yang membuat Syam muda ingin sekali seperti beliau, ingin menjadi seorang pejuang negara dan wanita yang bebas.

Syam membuktikan ucapannya. Ia menjadi perawat saat perang melawan Penjajah Belanda untuk para tentara Indonesia. Lalu ketika Jepang datang, Syam menjadi seorang pemekik tanda perang saat meletus perang dahsyat melawan Jepang. Keberhasilan para tentara itu terbukti dengan tenggelamnya sebuah kapal di tengah-tengah sungai yang memisahkan Bulungan dan Tg. Palas.

Saat itu aku mengira wanita tua itu sedang berkisah tentang legenda dongeng walaupun setiap kali selesai bercerita ia selalu mengakhirinya dengan lantunan lagu-lagu Belanda bahkan lagu kebangsaan Jepang yang terkenal itu, Kimigayo. Sampai bosan telingaku mendengarnya, tapi kalau melihat kebahagiaan yang terpancar di wajahnya yang berkeriput, aku memilih untuk diam dan mendengarkan dengan seksama.

Di lain hari ia bercerita tentang hidupnya yang nyata tanpa sadar. Ketika menonton televisi dan menayangkan sebuah kota, tanpa sadar ia bercerita kalau ia pernah ke sana dan mengalirlah semuanya. Ia dengan riang bercerita tentang berbagai hal menarik yang pernah ia temui di sana.

Lama baru aku mengerti, kisah-kisah yang diceritakannya bukanlah dongeng. Ia memang seorang pejuang kemerdekaan, meski akhirnya Orde Baru mempetieskan prestasinya karena sesuatu hal. Ketika kutanya mengapa ia membiarkan, ia hanya tersenyum dan berkata, “saat itu saya hanya ingin mewujudkan cita-cita menjadi seorang Indonesia yang merdeka dan membuktikan kalau saya adalah seorang rakyat Indonesia yang mencintai negerinya. Bukan untuk sebuah gelar, apalagi untuk dipamerkan. Untuk apa mempertanyakan apa yang negara berikan buat kita, tanyalah apa yang kita berikan buat negara?”

Dan akupun sama seperti yang lain, diam dan hanya bisa termangu mendengarkan.

Syam, seorang pejuang yang meneruskan perjuangannya dengan menjadi seorang guru. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan bahkan ketika sakit parah menyerangnya. Pekerjaan yang demikian ia cintai, hingga setiap kali aku pulang ke kampung halaman menengoknya maka setiap orang yang mengenalnya pasti mengingatkan aku betapa Syam telah menjadi guru tak cuma di ingatan tapi juga di hati mantan murid-muridnya. Meski akhirnya pekerjaan menjadi guru itu membawanya menjadi salah satu anggota DPRD, dan kemudian membuatnya bisa berkeliling daerah, ia tak pernah menghilangkan cintanya pada profesi guru. Ia bahkan bilang “Menjadi Guru membuat kita tak hanya akan diingat, tapi juga dihargai sepanjang hidup seseorang.“

Aku bangga pada Syam, karena bukan hanya itu yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Ia membesarkan 12 orang anaknya bersama beberapa keponakannya yang lain. Di tangannya, ia berhasil mencetak para pejabat negara yang akhirnya terjun membangun kota kecil tempatnya dilahirkan. Salah satunya bahkan menjadi pemimpin daerah selama dua kali pemilihan. Syam pasti bangga kalau saja ia tahu bahwa semua perjuangannya telah berbuah.

Namun ketika kusinggung tentang masa-masa hidupnya kala aktif sebagai seorang wakil rakyat, justru mendung di matanya yang kulihat tergambar jelas di sana. “Politik itu adalah candu, candu yang nikmat namun kalau berlebihan itu akan menghancurkan hidup seseorang.” Dan aku tetap tak pernah memahami, hingga sempat memilih untuk meneruskan pendidikan ke bidang politik. Syam murka. Ia memintaku memilih bidang lain. Saat itu melalui telepon, Syam memintaku melupakan keinginanku itu. Aku tak pernah mengerti kenapa, namun karena rasa cinta dan hormat pada wanita tua itu aku menuruti keinginannya.

“Kau memiliki kemampuan berbicara dan menulis dengan baik, kemampuan yang sangat diperlukan untuk terjun ke dunia politik. Tapi ingatlah satu hal, sayangku, pemimpin seorang perempuan tetaplah laki-laki. Tangan perempuan hanya ada dua dan kodratnya dia makhluk yang lemah dibandingkan laki-laki, dan ia tak bisa memikul beban menjadi tiga atau empat. Pilihlah apa yang menjadi kodratmu di tangan yang paling kuat dan genggamlah cita-cita yang paling mulia di tangan yang lain. Politik itu kejam dan menghancurkan, bahkan seorang perempuan paling baik di dunia bisa berubah menjadi seorang setan yang jahat. ” Itu penjelasannya suatu ketika saat aku bertemu langsung padanya dan bertanya mengapa ia melarangku memilih dunia politik.

Akhirnya karena Syam, aku memilih dua hal yang menurutku itulah yang terbaik. Aku berhasil mendapatkan sesuatu yang kutahu tak pernah dimiliki Syam. Syam tak pernah berhenti menyesali perpisahannya dengan suami tercinta dan aku bersyukur Syam mengajarkanku untuk mempertahankannya.

Syam, wanita tua itu selalu memberiku semangat saat rumah tanggaku goyah dengan berbisik penuh makna. ”Penderitaan itu adalah bumbu kebahagiaan, takkan ada rasa yang nikmat saat mencicip kebahagiaan jika kita tak pernah merasakan penderitaan. Setiap kali kau menderita, ingatlah itu baru satu hari dan kenanglah 100 harimu yang bahagia. Begitu terus setiap kali kau menderita dan deritamu takkan lagi terasa lama. Justru saat bahagia itu datang maka kau akan sangat menghargai dan merekamnya dengan baik dalam ingatan.”

Suara helaan nafas Syam membuatku kembali menjejak dunia nyata. “Mana suamimu, nak?” tanyanya lembut. Aku menoleh ke belakang dan memperkenalkan suamiku padanya. “Ini nek, ini suami Nur,” bisikku pelan. Dia tersenyum, menyalami suamiku yang langsung mencium tangannya dengan hormat. Aku meninggalkannya bersama suamiku untuk mengobrol berdua dan berharap nenekku tak menceritakan tingkah konyolku saat masih kecil dulu.

Dari balik pintu, tanpa sengaja telingaku menangkap kata-katanya saat berbicara dengan suamiku.

“Nur adalah cucu kesayanganku, dia sangat mirip saya dan saya sangat tahu jalan pikirannya. Jagalah dia baik-baik. Karena dia menyerahkan seluruh dunia yang bisa dimilikinya untuk kamu. Kamu harus bisa menghargainya dan dia pasti jadi istri paling patuh yang kau miliki.” Aku tak bisa menahan tetesan airmata berjatuhan setelah mendengar itu. Apalagi sesaat kemudian, ia juga berkata pada kami berdua. “Untuk meminta maaf itu memang sulit sekali, tapi menunggu maaf jauh lebih sulit. Jadi kalau kalian berdua merasa berbuat salah, jangan malu meminta maaf karena itu jauh lebih mudah dibandingkan menunggu maaf.”

Itu pesan terakhir Syam yang kudengar. Setahun sebelum akhirnya ia menutup matanya tanpa kehadiranku. Saat itu aku menangis di kantor, sendirian di dalam toilet. Hari itu aku harus tetap terbang, menghadiri sebuah tender meeting yang tak bisa kutinggalkan. Lidahku terasa kelu saat harus berbicara di depan umum, tapi aku berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik meski setelah itu aku menangis berjam-jam, menyesal karena tak bisa datang untuk melihat Syam. Bahkan kata-kata suamiku yang mengingatkanku tentang pesan Syam tak bisa menghilangkan penyesalan itu, “Nenek pasti ngerti, sayang. Dia pasti lebih suka begini daripada kau datang dan kehilangan kesempatan memenangkan tender dimana banyak orang bergantung pada hasilnya.”

Syam sudah tiada, lama sekali. Sebelum aku sempat berkata padanya kalau aku selalu mengingat semua pesannya. Syam membuatku memahami banyak hal, dan aku ingin menulari semua itu pada semua orang yang kusayangi. Syam memang sudah tiada, tapi semangat juangnya selalu ada di hatiku hingga kini. Penyesalan Syam adalah pelajaranku yang paling penting. Pesan Syam akan selalu kuingat di sepanjang hidupku.

*****

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena