Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 24 February 2012

Mau Dibawa Ke mana?


“Aku ingin kepastian. Sebenarnya hubungan seperti apa yang sedang kita jalani, Ram?”

Rama mengusap rambutnya. Pertanyaan Ella tadi saat makan siang benar-benar tak bisa pergi dari pikirannya. Ia tak bisa menjawabnya. Ella pun meninggalkannya begitu saja, tanpa bicara lagi. Terlalu gadis itu. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah menanyakannya lalu pergi begitu saja tanpa membiarkannya menjawab dulu?

Kenangan tentang almarhum istrinya datang lagi. Rama dan Alia saling mengisi sejak mereka kuliah, namun pernikahan mereka tidaklah nyata meski mereka saling mencintai. Mereka tak harus melakukan banyak kompromi selama pernikahan karena Alia dan dirinya tinggal terpisah. Alia meninggal karena kecelakaan pesawat saat akan kembali padanya setelah menyelesaikan tugas belajar. Kehilangan Alia yang menyakitkan telah menjungkirbalikkan semuanya, impian mereka. Rama tak lagi yakin mampu bertahan jika sakit yang sama terjadi lagi. Dan itu menakutkannya. Mencintai berarti kehilangan. Menyakitkan saat ditinggalkan.

Tapi, Ella membuat segalanya berbeda. Astaga, terlalu banyak yang telah dilewatinya bersama Ella. Bekerja bersamanya, berkompromi saat terjadi perbedaan pendapat dan saling memberi serta menerima melebihi daripada yang pernah dialaminya dulu bersama Alia. Ia dan Ella telah berpacaran lebih lama dari masa pernikahannya yang singkat bersama Alia.

Rama mungkin terlalu takut untuk berkomitmen lagi. Tapi ada yang lebih membuatnya takut. Rama tak berhasil menjaga hatinya, hatinya telah dipenuhi oleh Ella. Jika ia merasakan sakit itu lagi, itu bukan salah Ella tapi dirinya sendirinya yang terlanjur mencintai Ella.

Jaring pengaman yang menyelubungi hati Rama telah lama musnah. Kehadiran Ella telah mengoyaknya, dan selama mereka bersama, Ella telah berhasil menghancurkannya. Ia baru menyadarinya sekarang. Ia membutuhkan Ella dan ia akan melakukan kesalahan kalau membiarkan gadis itu pergi.

***

Entah berapa Ella merutuki kebodohannya. Kenapa ia harus bertanya pada Rama sekarang? Emosi Ella membuncah tak tertahan, airmata jatuh satu-satu menetes di pipinya. Hatinya patah.

Seharusnya ia tahu, cinta Alia masih terlalu kuat mengikat hati Rama. Seharusnya ia tahu bahwa cinta mereka selama ini hanyalah cinta biasa. Tak ada yang seistimewa kenangan Alia dan itu tidak termasuk dirinya. Seharusnya Ella tahu itu.

Namun paling tidak Ella mendapatkan keinginannya. Tujuan hidup menjadi jelas setelah sekian lama berada dalam ketidakpastian. Sekarang walaupun dengan hati berkeping-keping, ia bisa melangkah dengan bahu tegak. Menghadapi dunia lagi, sendirian dan mencari cinta lagi. Mungkin lebih baik begini, memutuskan hubungan mereka yang tanpa ujung.

“Kau belum mendengar jawabanku,” Ella menoleh, menatap Rama yang berdiri di ambang pintu kantornya.

Ella mengalihkan pandang pada tumpukan map di depannya. “Kurasa aku sudah tahu jawabannya.”

“Oh ya? Menurutmu apa?” tanya Rama sambil mendekati Ella.

“Aku sibuk, Ram. Sudah saatnya aku kerja. Sekarang bukan saat yang tepat,” kilah Ella.

“Kau lupa kalau aku direkturnya?” ucap Rama sambil duduk di kursi depan meja kerja Ella. “Tak mudah memahami hati sendiri, apalagi setelah bertahun-tahun hati itu telah tersegel oleh rasa ragu dan kehilangan. Aku mengira cukup dengan segala yang telah terjadi dan semuanya akan baik-baik saja. Tak ada lagi rasa sakit itu. Aku membelenggu diriku sendiri dengan cinta masa laluku bersama Alia.”

Tenggorokan Ella tercekat. Rama kembali berkata, “aku tahu, kita belum lama saling mengenal, tapi aku mencintaimu. Aku mencoba menyangkal beberapa kali. Aku memilih menjalani hubungan ini denganmu, agar suatu saat kalau kau pergi dariku maka aku takkan merasa kehilangan seperti saat kehilangan Alia. Pacaran yang save tanpa komitmen, tanpa janji. Buatku itu adil.”

Rama menatap mata Ella yang berkaca-kaca. “Lalu kusadari jika aku tidak menunjukkan komitmen yang jelas padamu, jika aku membiarkanmu memutuskan semuanya begitu saja maka aku akan merasakan kehilangan lagi dan aku baru sadar kali ini membayangkannya saja sudah terasa lebih menyakitkan. Aku minta maaf, Ella. Aku mencintaimu dan aku ingin melanjutkan hubungan kita.” Lalu dengan suara pelan dan tegas, Rama menyambung ucapannya. “Maukah kau menikahiku, Ella?”

***

Rama tak bisa melepaskan pandangan dari wajah pengantinnya yang sedang tertawa di antara tamu-tamunya. Wajah Ella yang merona bahagia.

Rama tak pernah melihat pengantin yang lebih memesona sepanjang hidupnya. Bukan hanya gaun berenda, kerudung dan mahkota bunga yang luar biasa indah yang dikenakannya. Tapi juga apa yang memancarkan dari diri Ella, senyumnya, cahaya matanya, rona di pipinya. Hidup tak pernah terasa seindah ini.

Inilah cinta, inilah komitmen seumur hidup yang telah dipilihnya. Mencintai dan dicintai, dengan janji terukir dalam hati. Komitmen harus ada, agar cinta tetap tumbuh, tetap berkembang dengan baik dan memberi kebahagiaan bukan hanya untuk sekejap, dalam waktu terbatas tapi juga untuk di masa yang akan datang. Bagai memulai sebuah perjalanan, selalu ada tempat untuk dituju. Seperti semua keinginan di muka bumi ini, selalu ada tujuan terakhir. Dan cinta yang dibawa oleh Ella, telah menemukan persinggahan terakhirnya, di hati Rama.


*****
Read More

Thursday 23 February 2012

Aku Pulang Membawa Cinta


“Dia hanya cinta sesaatmu! Nanti setelah rasa cinta itu pudar, baru kau tahu rasanya. Cukup Ibu saja yang mengalami, jangan sampai kamu juga mengalaminya, Neng! Lupakan dia!”
“Tidak, bu. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dia. Buatku, dialah yang terbaik. Izinkan aku menikahinya, Ibu. Neng mohon, bu.”Description: http://bundaiin.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gifDescription: http://bundaiin.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Wajah Ibu semakin memerah. Kemarahan semakin jelas menggurat di wajahnya yang masih terlihat cantik itu. Tapi aku tak peduli, aku harus berjuang. Demi Cintaku pada kekasihku, pada orang yang ingin kujadikan pelabuhan terakhirku, Rick.
“Kalau kamu pilih dia, silakan keluar dari rumah Ibu. Jangan pernah datang ke rumah Ibu lagi, kecuali kamu sudah pisah dengannya,” gumam Ibu pelan namun tegas.
Read More

Monday 20 February 2012

Kembali Bersama Karena Cinta


Aku benar-benar tak memahami kenapa Salwa mau saja kembali pada mantan pacarnya. Dia bahkan menikahinya. Seribu pertanyaan seakan-akan berputar-putar di kepalaku, namun tak satupun yang bisa kujawab sendiri. Aku ingat saat itu, Salwa sama sekali tak memandang mantan pacarnya dengan sayang. Hubungan mereka selalu bermasalah dan yang terakhir kali aku melihat sendiri Salwa memutuskan hubungan mereka. Dia malah bersyukur karena berhasil memutuskan lelaki yang katanya bukan tipe idealnya.
Read More

Wednesday 15 February 2012

Ta'aruf (2-tamat)


Cerita Sebelumnya : Ta'aruf

Seminggu setelah pertemuan di rumahku, Ramadhan mengundangku dan Ayah melalui sms. Tiga lembar tiket dikirimkannya melalui kurir karena Ramadhan sudah berada di kotanya sejak beberapa hari lalu.

Sulit rasanya tak mengindahkan rasa rindu yang membuncah saat kami bertemu di kota kelahiran Ramadhan, ia datang menjemputku dan kedua orangtuaku di bandara Sepinggan. Penuh rasa hormat disalaminya Ayahku, dan mengangguk hormat pada Ibuku. Sekejap sorot pandang sayang dilemparkannya dalam tatapan, membuat hatiku terasa bagai melayang.Pertemuan itu ternyata tak seperti yang kubayangkan. Perumahan Pertamina tempat kakak Ramadhan tinggal bersama ibunya, telah ramai dikunjungi hampir seluruh keluarga besar Ramadhan. Satu persatu, Ramadhan memperkenalkan diriku beserta orangtua pada keluarganya. Bagai seorang putri yang disambut begitu rupa, penerimaan yang penuh rasa kasih dan sayang. Ibu Ramadhan memelukku hangat, berurai airmata seakan tak percaya atas kedatanganku.

Tak seperti pertemuan di rumah kami, kali ini aku mendapat banyak cerita tentang Ramadhan saat ia masih kecil. Kenangan-kenangan dirinya saat masih berumur balita diabadikan dalam potret diri dalam album foto keluarga, cerita kenakalannya ketika beranjak remaja dan bahkan aku tak mampu menyembunyikan tawa saat salah satu Bibi Ramadhan bercerita tentang kesukaan Ramadhan mengerjai teman-teman mengajinya di mesjid dekat rumah si Bibi dan di rumah Bibinyalah ia bersembunyi dari kejaran teman-temannya yang kesal.

Sepanjang pertemuan, semakin lama aku semakin mengenal pribadi Ramadhan. Tak cuma pernah belajar di Pesantren selama beberapa tahun, Ramadhan juga lulusan sekolah teknik. Nilainya tak begitu baik saat lulus karena saat ujian itulah bertepatan dengan meninggalnya sang Ayah. Menurut Bibi-bibinya, Ramadhan berubah banyak setelah Ibunya pun jatuh sakit, walaupun dia anak terakhir di keluarganya Ramadhan justru paling mandiri dan selalu rajin pulang menengok sang Ibu.

Sambil bercerita, salah satu kakak ipar Ramadhan memperkenalkan potret keluarga yang tak hadir. Foto Ayahnya, kedua kakaknya yang berbeda kota dan tak sempat hadir. Serta beberapa keponakannya yang lucu-lucu. Aku tersenyum dan sesekali mencuri pandang pada Ramadhan yang juga asyik mengobrol bersama Ayah.

Dan setelah mengantarku dan orangtuaku ke hotel sore itu, Ramadhan mengirimkan sms langsung ke nomorku.

Jika Allah memberi saya kesempatan, saya ingin berbakti pada Ibu, mencintai istriku dan mengasihi putri-putriku kelak.

Lama aku termangu. merenungi maksudnya mengirimiku kata-kata itu. Lalu berbisik Bismillah kubalas smsnya,

Bagi saya menikah bukan hanya mendapatkan suami, tapi mendapatkan keluarga baru termasuk bertambah Ibu dan bertambah Ayah. Jika baktimu itu suci, biarkanlah saya menjadi bagian dari kesempatan itu.

Handphoneku diam membisu setelah laporan sms terkirim kuterima. Kuputuskan untuk beristirahat karena lelah. Setelah sholat Maghrib, Ramadhan kembali datang mengajak kami untuk makan malam bersama keluarga. Dan masih seperti saat kami datang, kehangatan keluarganya menyambut aku beserta orangtua.

Keesokan harinya aku pulang. Kulihat rasa segan sekelebat terbayang di mata Ramadhan saat aku berpamitan. Namun, ketika aku baru saja melewati pintu masuk menuju ruang check-in Bandara Sepinggan, bunyi sms masuk ke handponeku lagi.

Tunggulah saya, Insya Allah setelah saya menyelesaikan semua urusan di sini, saya akan datang meminangmu. Doakanlah agar maksud ini diridhoi Allah, agar semua tujuan dan impian kita bisa bersatu dalam sebuah pernikahan.

Tanganku gemetar, kutolehkan kepalaku mencari sosok Ramadhan di balik dinding kaca yang membatasi ruang. Aku melihatnya berdiri di sana, tersenyum penuh arti dan aku mengangguk berulang kali. Dua tetes airmata keharuan mengalir di pipiku.

Terima kasih ya Allah, Kau pertemukan aku dengan lelaki yang benar-benar memahami cinta seperti yang kuinginkan. Cinta yang dimulai karena Allah, dan Demi Allah pula aku menerimanya. Biarkanlah aku lebur bersama cintanya itu, Ya Allah lebur dalam kebesaran dan karunia-Mu yang begitu indah, agar aku terus mengagungkan cinta sesungguhnya padaMu. Dzat Maha Penyayang dan Maha Pemberi.


*****


Note :


Sedikit out of theme dari tema blog, saya memutuskan menyinggung masalah Ta’aruf di tanggal yang diperingati sebagian orang sebagai Hari kasih sayang, karena banyaknya permintaan akhwat yang bertanya soal pelaksanaannya.

Cerita ini dibuat agar bisa memahami perbedaan antara Ta’aruf dan Pacaran. Mohon diperhatikan bahwa ada perbedaan signifikan diantara dua kegiatan tersebut, Pada Ta’aruf selalu ada orang lain (yang merupakan muhrim pihak perempuan) selain kedua calon pasangan, dan bahasa yang digunakan pada saat mengirim sms (private time) pun menggunakan bahasa santun dan bisa ditunjukkan pada pihak muhrimnya (dipertanggungjawabkan). Walaupun diawali permintaan dari pihak wanita, namun keputusan terakhir tetap di tangan pria.

Read More

Tuesday 14 February 2012

Ta’aruf


Dengan gelisah kutatap Ibu berkali-kali. Keinginan yang sedari tadi ingin kusampaikan mendadak menjadi beban yang ragu kulontarkan. Jemariku mulai melinting ujung kerudungku. Namun tetap saja tak mampu menghapus keraguan yang mendadak datang.

“Fit, kamu kenapa toh nduk?” tanya Ibu heran, seraya mendekatiku yang berdiri di ambang pintu.

Aku terhenyak. Tak menyangka Ibu akan bertanya padaku. “Ah oh… eh Fitri, anu bu, eh…” jawabku gugup.

Ibu tertawa kecil. “Ada apa sih? Sampai segugup itu,” kata Ibu. Ditariknya tanganku dan kamipun duduk di meja makan.

“Sekarang ceritakan apa yang mau kamu sampaikan?” tanya Ibu lembut. Kutundukkan wajahku dalam-dalam. Bahkan sebelum keinginan itu kusebutkan, rasa malu bertabur jengah dan bingung sudah memenuhi rongga dada.

“Bu, tahun ini umur Fitria sudah 22 tahun kan? Sebentar lagi Fitri juga selesai kuliah.” Aku melihat Ibu mengangguk.

“Hmm… sudah pantas belum kalau Fitria menikah, bu?” tanyaku perlahan. Rasa panas karena malu menjalari kedua pipiku. Kembali aku menunduk, menutupi rona merah di wajahku yang mulai terlihat.

Ibu terdiam, lalu mengangkat wajahku dengan ujung jarinya. “Tentu saja, nak. Tapi… apa sudah ada orang yang jadi pilihan hatimu?” Kuanggukkan kepalaku lagi pelan tapi penuh keyakinan.

“Dan siapa lelaki itu, putriku yang manis?” tanya Ibu lembut.

Akupun berbisik malu-malu, kusebutkan nama seorang lelaki yang belakangan ini sering datang menemui Ayah. Ramadhan, lelaki santun dari kota lain yang tak hanya berhasil mencuri perhatianku, tapi juga sebagian hatiku. Lelaki baik dengan senyum yang sopan menawan, setiap kali menyapaku dengan anggukan setengah tertunduk penuh hormat.

Ibu tersenyum padaku. Menatap penuh arti. Ini pertama kalinya sejak aku kecil, aku berani mengungkapkan isi hatiku. Ibu pasti memahami kesungguhan hatiku yang malu-malu kusampaikan.

Dan akupun menanti terus dalam kegelisahan selama beberapa hari. Suatu hari sepulang kuliah aku dibuat kaget saat melihat di ruang tamu, sosok lelaki yang memenuhi mimpiku berhari-hari duduk di sana bersama Ayah. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius saat aku memasuki rumah.

Seperti tamu-tamu Ayah yang lain, aku langsung permisi masuk ke kamarku yang berada di belakang. Namun di dalam kamar, kulihat Ibu sudah menunggu. Wajah Ibu demikian cerah, menenangkan hatiku saat menyampaikan kalau lelaki itu menyambut ajakan ta’aruf yang kusampaikan beberapa hari yang lalu. ketika malam beranjak, saat makan bersama sekali lagi Ayah dan Ibu mengulangi rencana ta’aruf yang akan kami lakukan beberapa hari lagi.

Aku tak bisa menyembunyikan getar-getar senandung cinta mendengar persetujuan Ramadhan melalui Ayah. Dengan bahasa penuh makna pada Ayah, lelaki itupun menyampaikan keinginan yang sama. Sudah lama ia ingin sekali mengenalku lebih dekat, sayang kesibukan dan rasa minder membuatnya sungkan mengambil langkah terlebih dahulu.

Langit terasa bagai bernyanyi untukku ketika lelaki itu datang lagi bersama kakak laki-lakinya. Ketampanan begitu terlihat karena hari itu ia mengenakan pakaian yang berbeda dari busana kerja yang biasa ia kenakan saat bertemu Ayah. Aku tak bisa menyalahkan air yang sempat tumpah saat tanganku gemetar menyajikannya.

Lalu Ibu dan Ayah mengajakku duduk bersama dia dan kakaknya. Perbincangan hangat seputar diriku dan diapun terus mengalir. Kakaknya yang ternyata juga seorang dosen bercerita kalau lelaki bernama Ramadhan itu lulus lebih cepat karena ikut program akselerasi, setelah itu ia melanjutkan ke program Masternya sambil bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayahku. Ayah mengangguk-angguk, lalu ia bertanya tentang orangtua Ramadhan.

Kudengar suara yang sedikit bergetar saat Ramadhan menjelaskan pada Ayah. Ayahnya sudah lama tiada sejak beberapa tahun silam sementara sang Ibu tak mungkin untuk datang berkenalan dengan keluarga kami karena saat ini beliau sedang sakit. Kakak Ramadhan juga terlihat murung, membuat perasaanku menjadi tak enak.

“Bolehkah nanti kami berkunjung menengok Ibu kak Ramadhan? Saya ingin sekali berkenalan dengan beliau, ” bisikku perlahan. Ayah juga menimpali setuju dan Ibu pun mengangguk.

Ramadhan spontan berkata ya padaku, dengan kegembiraan yang tak bisa ditutupinya.

Ibu dan Ayah bergantian bercerita tentang kesibukanku. Sesekali Ramadhan bertanya tentang kegiatanku lalu semakin lama pembicaraan mengalir hanya antara aku dan dia sementara Ayah dan Ibu lebih banyak mengobrol dengan kakaknya. Ramadhan menyinggung soal rencanaku di masa mendatang selain menyelesaikan kuliah. Dan dengan wajah bersemu merah, kuutarakan niatku untuk membagikan ilmu pada orang lain dengan mengajar.

“Jika kelak silaturahmi ini berlanjut, saya pasti mendukung sepenuhnya keinginan De Fitria. Kebetulan kakak ipar saya juga seorang ustadzah, mungkin dia bisa membantu de Fitri nanti kalau ingin mencari pekerjaan,” ujar Ramadhan sembari tersenyum.

Dan sepanjang malam itu, aku bersujud berterima kasih pada sang Maha Pemberi. Cinta yang disematkannya di hatiku, telah membuatku menemukan imam yang baik. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas anugerah cinta ini. Bila Ramadhan memang lelaki yang baik dan juga mencintaiMu sepertiku, izinkanlah dia menjadi jodohku, menjadi pembimbing setiap ibadahku padaMu.

bersambung ke Taaruf
Read More

Tuesday 7 February 2012

Bolu Coklat & Pernikahan


“Liiin! Bantu Mama yok!” teriak Mama memanggil gadis kecilnya yang sedang berada di dalam kamar.
Iih Mama, orang lagi asyik main games pakai acara dipanggil segala. Tapi tetap saja Lintang, gadis kecil berumur 12 tahun itu keluar dari kamarnya meninggalkan laptop.
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena