Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 4 November 2011

Koin Peduli Mama


Koin selalu bertaburan di rumahku. Setiap kali anak-anak membantuku, aku menghadiahi mereka dengan koin. Di akhir pekan, anak-anak bebas menukar keinginan mereka dengan menghitung sesuai jumlah koin yang mereka dapatkan. Biasanya mereka menukarnya dengan jalan-jalan ke mal, makan-makan atau membeli sesuatu.
Koin itu hanyalah kertas bundar warna-warni yang berisi tanda tanganku. Nilai setiap koin adalah seribu rupiah. Anak-anak bisa mendapatkannya kalau aku atau ayahnya menilai mereka berlaku baik atau setelah menyelesaikan tugas tertentu.

Tujuanku membuat sistem itu supaya anak-anak belajar mengerjakan tugas-tugas ringan di rumah, belajar mengatur uang jajannya dan menghargai arti bekerja. Sementara untuk si ade, hanya agar bisa mengontrol emosinya yang masih belum stabil. Walaupun di awal-awal pemberlakuannya sempat terjadi kekacauan, anak-anak yang terlalu bersemangat mengumpulkan koin malah membuat si ayah marah. Bahkan diminta tolong mengambil sesuatu saja mereka meminta koin pada ayahnya. Namun seiring waktu berjalan, kami akhirnya bisa mengatur dan membatasi tugas apa saja yang bisa menghasilkan koin.
Suatu hari aku sakit. Gula darah naik mencapai 220 membuatku terpaksa tinggal di rumah sakit. Suamiku tak mau bernegosiasi lagi meskipun aku berat meninggalkan putra-putriku tersayang. Anak-anak harus hujan air mata ketika terpaksa meninggalkanku sendirian di rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi? Dokter tak mengizinkan anak-anak tinggal di kamarku, kamar VIP sekalipun. Katanya tak baik untukku dan untuk anak-anakku.
Setiap kali anak-anak datang menjenguk, aku berusaha membuat mereka mengerti keadaanku.  Kukatakan bahwa kakak harus bisa menjaga adik, abang harus mematuhi ayah dan Ade tidak boleh cengeng. Kujanjikan banyak koin untuk mereka kalau aku pulang nanti. Tetapi anak-anak sepertinya tetap tak bersemangat, mereka hanya mengangguk dan terus bertanya, “Mama, kapan pulangnya?”
Aku pulang tiga hari kemudian. Yang pertama kuperiksa tentu saja keadaan rumah. Paling tidak rumah terlihat bersih dan rapi. Tapi suamiku sudah keburu menyuruhku untuk beristirahat dulu.
Di dalam kamar, aku mencari koin-koin yang sudah kusiapkan jauh sebelum aku sakit dulu. Aku ingin menepati janji dengan anak-anak, memberi mereka hadiah koin karena telah bersikap manis selama aku dirawat. Laci kuperiksa, lemari kubuka satu persatu dan meja kerjaku sudah kulihat sampai ke bagian pojoknya, aku tetap tak menemukan stok koin-koin yang sudah kubuat itu.
Suamiku masuk membawa sekantong obat. “Cari apa, Ma?” tanyanya.
“Koin anak-anak. Seingat mama ditaruh di laci, tapi kok ga ada semua ya yah. Ayah buang ya?” tanyaku.
Suamiku tersenyum, “Ngga, diambil sama anak-anak.”
Aku menatap suamiku dengan kening berkerut, “Looh, kok dikasihkan sih? Kan belum ditandatangani mama, ayah yang ngasih mereka?”
Suamiku hanya tersenyum, lalu dia ke pintu dan berteriak memanggil anak-anak. Anak-anak menghambur masuk ke kamarku dan bertanya, ” Ada apa, Ma?” tanya Kakak. Abang dan Ade langsung duduk di tempat tidurku.
“Mama nanyain koin yang ada di situ.” Jawab suamiku singkat. Ia sibuk mengeluarkan pakaianku dari dalam tas kecil, sementara aku memilih berbaring karena kepalaku masih sakit.
“Oh itu, sebentar ya ma. Za, ade ayo bantuin kakak bawain tempat koinnya.” Si kakak mengajak kedua adiknya mengambil tempat koin. Keduanya menuruti perintah kakaknya.
Beberapa menit kemudian anak-anak masuk ke kamarku kembali sambil membawa toples dari plastik bening di pelukan mereka. Aku melihat toples itu sudah penuh berisi koin-koin.
“Waah, mama bayarnya pasti banyak sekali nih! Ayo sini biar mama hitung!” kataku sambil menepuk-nepuk tempat tidurku. Yang pertama menyerahkan adalah anak terkecilku, ia meminta duduk di sampingku dan aku mulai menumpahkan koinnya di tempat tidurku.
Tapi bukan tanda tanganku yang ada di situ, juga bukan tanda tangan suamiku. Kertas koin itu berisi gambar-gambar balon karya Fira. Dia memang baru berusia 2,5 tahun, tapi sudah bisa menggambar balon dan lingkaran dengan baik. Aku tersenyum ketika Fira berkata, ” Balon mama, balon mama.”
Lalu Reza, si abang menyodorkan toplesnya. Kali ini aku hanya membuka tutup toples dan mengambilnya satu persatu. Sama seperti milik adiknya, tapi koinnya bertulis aneka kalimat yang membuat airmataku jatuh, “i love you, mama”, “jangan sakit lagi, mama”, “reza sayang mama”, dan sebagian berisi gambar-gambar, ada pesawat yang bertuliskan pesawat mama,  ada gambar kue dengan namaku, ada gambar rumah tertulis buat mama dan sebuah gambar kartun ibu bermain bola.
Ketika kakak menyerahkan toplesnya, airmataku semakin deras. Di koin-koinnya, putriku menulis aneka pesan. “koin sayang buat mamaku”, “Mama, kakak sayang mama.”, “kakak rindu mama”, “Mama boleh suruh cindy apa saja, tapi jangan sakit lagi ya mah”, “Ciuman sayang buat mamaku yang cantik” yang ditambah dengan gambar bibirnya. Kata Abang Reza mengadu padaku, “kakak genit ma, pake lipstik mama trus tempelin di situ. Jorok ye ma!” membuatku tersenyum di sela airmataku yang jatuh.
“Mama kok malah nangis. Mama marah ya karena koin-koinnya kami coretin?” tanya anakku yang paling tua itu sambil menatapku, “soalnya ayah bilang, seharusnya cindy sama ade-ade gak boleh minta bayaran sama mama. Mama aja mengurus kakak sama ade-ade gak pernah minta bayaran, malah sampai sakitpun mama gak mau ninggalin kami. Harusnya cindy yang bayar mama.”
“Iya mah, terus ayah bilang bagaimana kalau kita bikin koin peduli mama aja. Nah, ini sudah kami buat koin peduli mama. Ayah bilang boleh isi apa saja yang penting bisa nunjukin kalo kami sayang sama mama.” Putraku menjelaskan dengan panjang lebar.
Suamiku menatapku di belakang anak-anak. Aku berterima kasih melalui tatapanku dan suamiku mengangguk mengerti. Aku memeluk anak-anakku sekaligus. “Terima  kasih ya nak! Ini benar-benar koin yang sangat pantas buat membayar mama.” Bisikku pada ketiga buah hatiku.
“Ah ayah ikut aaah….” kata suamiku sambil memeluk anak-anak dari belakang. Tapi anak-anak malah berkata “Uuh, Ayah bau!!!” dan mereka pun berusaha melepaskan diri.
Sejak itu, tak ada lagi anak-anak yang meributkan koin setiap kali kumintai tolong. Memang terkadang mereka agak sulit disuruh dan lebih suka bermain. Tapi mereka tak pernah lagi memberi syarat apapun. Semuanya dilakukan dengan ikhlas dan kata terima kasihku saja sudah cukup untuk mereka.
Toples koin masih ada. Tapi kini anak-anak dan suamiku menggantinya menjadi “koin peduli mama”. Isinya koin kasih sayang anak-anak. Mereka memasukkan gambaran cinta mereka di situ. Setiap malam ketika aku sedang merasa kecapean, bosan atau kesal dengan tingkah anak-anak yang kadang suka bandel, aku membuka toples itu dan seperti orang yang baru gajian, aku merasa mendapatkan bayaran yang paling pantas dengan pekerjaanku sebagai ibu. Terima kasih putra-putriku sayang untuk koin peduli mama.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena