Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Friday 4 November 2011

Inspirasi untuk anak - Ada untuk ibu


Sekretarisku memberikan lembar penelepon yang masuk sepanjang rapat berlangsung tadi. Mataku melirik salah satu nomor telepon yang kukenal baik, nomor telepon Ibu. Aku menghela nafas, pasti ujung-ujungnya hanya memintaku pulang. Kulewati nomor telepon tersebut dan melihat nomor-nomor lain yang lebih penting karena semua kebanyakan adalah soal bisnis. Soal ibu, nanti saja akan kuhubungi sepulang kerja. Aku tahu pasti ibu hanya ingin aku pulang.


Memang sudah lebih dari tiga bulan aku tak pernah menyempatkan diri pulang, sebelumnya aku pulang setiap hari jumat karena jarak dari Jakarta Banten hanya kurang lebih tiga jam. Tetapi belakangan ini setiap akhir pekan aku sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mita. Kalaupun senggang dan meskipun Mita mengajakku pulang menengok ibu, aku lebih memilih menghabiskan dengan bekerja di rumah. Pekerjaanku memang menumpuk sejak kenaikan jabatan beberapa bulan sebelumnya. Toh meskipun aku tak pulang, hampir setiap hari ibu selalu meneleponku walaupun sekedar bertanya apa aku sudah makan, bertanya soal Mita dan atau paling-paling Ibu bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi di rumah.

Malam hari sepulang kerja, aku menyempatkan diri makan nasi uduk kesukaanku di warung pinggir jalan dekat rumah. Tempat ini terkenal dengan jajanan murah meriah tapi lezatnya sehingga kadang-kadang kita harus antri menunggu kalau sedang ramai pengunjung. Aku suka makan di warung itu karena warung itu menjadi langgananku sejak aku masih pegawai magang di perusahaan.
Karena aku pulang sedikit lewat dari waktunya, makanya tak heran warung itu sudah penuh hingga beberapa orang antri di luarnya. Kepalang tanggung aku memilih menunggu di dalam mobil sambil mengecek BB. Sederet pesan singkat menunggu dan aku membacanya satu persatu termasuk pesan dari ibu yang memintaku pulang kalau sempat. Kubalas pesan dari ibu dengan menghubungi kembali, tak ada jawaban mungkin karena ibu sedang sholat maka kutinggalkan pesan seperti biasa. Pesan yang mengatakan tentang kesibukanku di kantor dan tidak memungkinkan untuk pulang akhir pekan itu. Aku memang lebih suka menulis pesan daripada menelepon dan mendengar suara kecewa ibu. Ketika sudah selesai, aku memasukkan BB kembali ke dalam kantong kemejaku dan memandang keluar.
Tampak sebuah gerobak didorong oleh seorang wanita melalui jalan di depanku. Dalam hati aku memuji kekuatannya karena aku saja belum tentu sekuat dan semampu itu mendorong gerobak secepat itu. Ia memarkir gerobak tepat di tengah-tengah antara mobilku dan warung kecil. Wanita itu lalu masuk ke dalam warung kecil itu dan tak lama kemudian ia keluar membawa sebungkus nasi.
Aku terkejut, nah lo aku sudah menunggu lama eh kok dia dengan mudah mendapatkannya. Akupun keluar dari mobil dan siap-siap protes bersama perutku yang juga sudah lapar. Aku memandangi wanita itu membuka penutup gerobaknya dan tiba-tiba dua kepala kecil nongol dari dalamnya. Wajah anak-anak itu tampak gembira melihat ibunya datang membawa sebungkus makanan. Si ibupun mulai membuka bungkusan yang dipegangnya.
Aku memperhatikan sambil mengunci pintu mobilku pelan-pelan. Pemandangan ini menarik hatiku karena si ibu menyuapi anaknya dengan sebungkus makanan tanpa lauk apapun di dalamnya. Mungkin itu sebabnya ia dilayani dengan cepat karena hanya membeli nasi. Tapi kedua anaknya tampak lahap menyantap makanan itu. Aku melangkah melihat mereka, setengah tak percaya melihat ketiganya tampak bahagia.
Terdengar salah satu anak berkata, “mak, kok tidak ikut makan? Emak juga belum makan seharian kan?”
Si Emak menjawab dengan senyum, “kalian makan saja dulu, kalau kalian sudah kenyang emak juga kenyang kok.”
Anak yang lain menjawab sambil bercanda, “emak kenyang makan angin ya, hahaha…emak makan angin saja.” Si Emak hanya tersenyum, sementara tangannya sibuk menyuapi kedua anaknya bergantian.

Salah satu anaknya menatapku yang berdiri memperhatikan mereka di samping mobil, aku malu karena ia menangkap basah diriku yang sedang menatapnya maka kulemparkan senyum pada si anak. Tapi ia sudah menatap emaknya lagi dengan cuek.

“Mak, entar kalo aku dah gede, aku mau beli mobil kayak gitu buat emak.” Kata anak itu dengan mulut penuh berisi nasi sambil menunjuk ke arah mobilku. Aku tersenyum mendengarnya.

“Iya, iya… makanya makan yang banyak rajin sekolah supaya gak miskin terus kayak emak.” Jawab si emak.

“Kalo aku, kalo aku, ntar mau beliin emak baju yang bagus terus rumah yang gede buat emak.”sahut anak yang satu lagi tak mau kalah.

Si emak tersenyum, “iya iya, nanti kalau kalian udah gede, gak perlu pikirin emak. Yang penting kalian berdua bisa hidup senang, emak juga sudah senang. Hayo sekarang habisin cepat nasinya!”

Aku melangkah pelan-pelan menuju warung tenda sambil melirik sedikit ke arah si emak. Pandangan kami bertemu dan dia mengangguk hormat padaku yang berdiri di dekat pintu masih asyik memperhatikan mereka.

Sambil makan (akhirnya), aku memesan dua porsi lain lengkap dengan lauknya dan kuminta pada penjual nasi mengantarkannya pada keluarga itu.  Aku keluar dari warung dan si emak berterima kasih padaku.

“Terima kasih ya om, terima kasih sudah membelikan kami makanan. Sudah dua hari ini anak-anak saya Cuma makan nasi saja, terima kasih ya om.”

Aku mengangguk, “sama-sama bu, tadi saya lihat ibu juga belum makan kan?”

Emak itu tertawa kecil, ‘waah, namanya mamaknya yah harus dahulukan anak dulu om. Saya mah gapapa kelaparan yang penting anak saya tetap bisa makan.”

Aku terdiam dan kemudian pamit pada si Emak. Sebelum meninggalkan tempat itu, aku sempat menoleh dan masih kulihat ketiganya tampak riang gembira menikmati nasi pemberianku. Sementara sebaris kalimat Emak itu terus terngiang dalam hatiku.

Dalam mobil, aku teringat ibuku. Ibuku juga seorang janda, yang ditinggal pergi ayah sejak aku masih di sd. Ibu memang sangat keras padaku, putra satu-satunya. Ibu selalu mendampingiku sepanjang hidupku hingga aku memilih bekerja di luar kota tempat kami tinggal. Aku tahu ibu bekerja tetapi ia tak pernah melewatkan semua peristiwa penting dalam hidupku. Ibu ada setiap kali harus mengambil raportku, ibu hadir di semua pertandingan basketku, dan setelah kami tinggal terpisah, ibu selalu mengirimkan sesuatu yang spesial setiap kali aku berulang tahun.

Dari aku kecil, Ibu selalu terlihat kuat dan tidak cengeng, meskipun baru beberapa tahun kemudian aku sadar mungkin itu karena ibu tak pernah memperlihatkannya. Aku hanya melihat ibu menangis setengah histeris di hari saat ayah meninggal dunia, tetapi itu adalah kali terakhir pula aku melihat ibu memandang seorang lelaki selain diriku. Aku tak pernah melihat ibu menangisi foto ayah atau melamun mengingat beliau, tapi aku sering melihat mata ibu tampak merah membengkak dengan suara serak di pagi hari.

Aku sering dipeluk ibu tanpa alasan ketika kami sedang berpiknik berdua, ibu biasa melakukannya ketika melihat keluarga lain lengkap dengan ayahnya bergembira di depan kami. Ibu yang memilih memelukku dalam diam setiap kali aku bertanya, kenapa ia tidak menikah lagi atau menggodanya ketika ada pria lain yang mulai mendekati ibu. Dalam diamnya ibu tak pernah mengungkap seberapa besar cintanya pada ayah tetapi Ibu tak pernah lupa melibatkan ayah setiap kali kami merayakan sesuatu yang spesial. Kami memang selalu merayakan ulang tahun dan hari-hari spesial lain termasuk hari pernikahan Ayah ibu, meskipun tamu tambahan kami paling-paling hanya kakek dan nenek ataupun paman dan bibi-bibiku. Ibu selalu mengenang ayah dengan cerita-cerita yang riang tentang tingkah Ayah di masa lalu membuat seluruh keluarga merasa seakan-akan ayah masih ada bersama kami.

Ibu, dengan kekuatannya mengajarkanku banyak hal. Aku tergolong sedikit nakal saat duduk di SMP, berkali-kali ibu dipanggil karena aku ketahuan melakukan kenakalan. Memukul teman, merokok bahkan entah berapa kali aku bolos. Ibu datang dua kali meminta maaf pada pihak sekolah dan aku ingat ketika kali terakhir datang, ibu berbicara denganku malam harinya. “Mas heri, ini terakhir kali ibu datang ke sekolah mas heri. Kalau mas heri masih ingin sekolah, maka mas Heri harus berubah. Ibu tidak akan datang lagi ke sekolah mas heri karena kenakalan mas Heri. Kalau terjadi lagi, ibu akan memberhentikan mas heri dari sekolah dan silakan mas heri melakukan apapun yang mas heri mau. Tapi terus terang itu akan sangat menyakiti hati ibu.” Dan itulah pertama kali setelah bertahun-tahun, aku melihat mata ibu yang berkaca-kaca. Aku memang berhenti berulah dan berubah meskipun di sekolah prestasiku tetap biasa-biasa saja.

Aku juga pernah gagal meraih keinginanku menjadi polisi. Saat itu aku menangis di kamar diam-diam karena merasa gagal memenuhi keinginan kakekku dan ibu masuk kemudian memukul bahuku dengan keras. “Kenapa harus menangis, mas Heri? Apa ada orang yang meninggal karena kegagalan kamu? Ibu membesarkan anak bukan untuk jadi laki-laki cengeng seperti ini! Ayo bangun! Cuci muka dan sholat, ngadu sama Allah!” Lalu sambil menarik bantalku dan melihat ke arah lain, ibu berkata dengan suara bergetar, “Sesedih-sedihnya ibu waktu besarin kamu sendirian gak pernah ibu putus asa begitu. Jangan buat ibu malu sama almarhum ayah, mas. Kalau gagal yah berusaha lagi. Kalau mas heri sedih, ibu jauh lebih sedih.”

Aku  mengusap airmataku yang tak sadar menetes. Ibu memang selalu memberiku spirit. Ia mendampingiku saat aku harus membuat skripsi. Ia menemaniku menulis berlembar-lembar lamaran kerja hingga tengah malam. Bahkan setelah bekerja, ibu menghubungi semua teman-temannya meminta mereka membantuku mencari tempat tinggal.

Ketika sudah bekerja dan pertama kali menerima gaji, aku justru melupakan ibu. Saat itu gajiku habis karena dipakai mentraktir teman-teman sekantor. Tetapi ibu sama sekali tak marah. Baru bulan berikutnya aku menyerahkan sebagian kecil gajiku. Namun Ibu menerimanya dengan penuh rasa haru saat aku menyodorkan amplop ke tangannya. Ibu mengucapkan terima kasih dengan suara sangat lirih dan masuk ke kamar. Dari balik pintu, aku mengintip dan melihat ibu menempelkan wajahnya ke amplop pemberianku, airmatanya mengalir deras dengan bibir bergetar sambil mengucapkan “Ya Allah, terima kasih.” berulang-ulang kali. Begitu bersyukurnya dia atas rezeki yang tidak seberapa itu sampai membuat aku merinding.

Sejak dulu Ibu selalu memberiku yang terbaik, ia selalu menomorsatukan kepentinganku di atas segalanya, bahkan setelah dewasa. Setiap kali aku pulang ke rumah, ibu menyediakan makanan kesukaanku dan melarang semua orang makan sebelum aku. Dulu aku tertawa melihat perhatiannya yang kadang-kadang berlebihan. Yang ia lakukan hanyalah sibuk memasak makanan kesukaanku walaupun yang bisa kumakan hanya sedikit, melarang orang berisik kalau aku sedang tidur di kamarku dan menawarkan seribu satu kesukaanku hanya agar aku betah di rumah.

Sementara aku mengingat setahun belakangan ini entah sudah berapa banyak acara yang ibu adakan kulewati karena pekerjaan bahkan termasuk saat ibu mengadakan selamatan ketika aku naik jabatan. Berbagai alasan kukatakan hanya agar ketidakhadiranku selalu dimengerti olehnya. Tetapi meski tanpa air mata penyesalan dariku, ibu selalu terdengar gembira setiap kali menelepon meskipun mungkin dia sudah tahu jawabanku.

Aku juga jarang memulai menelepon ibu kecuali kalau ada keperluan. Aku memang bertanya bagaimana kesehatannya, tapi lebih karena sebagai basa basi. Aku tak pernah bertanya ibu menyukai apa, ibu ingin oleh-oleh apa. Aku juga tak pernah memberi ibu apa-apa, yaah memang setiap bulan ada sejumlah uang dari hasil kerjaku yang kukirim ke rekeningnya tetapi aku tak pernah memberi sesuatu yang spesial terutama di hari ulang tahunnya. Ucapan selamat ulang tahunnya pun yang mengingatkan adalah sekretarisku.

Lalu melihat seorang ibu dengan kedua anaknya, rela mengorbankan diri kelaparan demi anak-anaknya. Ya Allah, betapa tak adilnya aku selama ini. Boro-boro menanyakan ibu sudah makan atau belum, datang menengoknya saja aku berat. Ibu masih sehat dan masih segar saja sudah kulupakan, bagaimana kalau Allah menganggapnya sebagai tanda bahwa aku sudah siap ditinggalkan ibu dan ia mengambil ibuku. Dadaku sesak dan airmataku menetes tanpa sadar membayangkan bagaimana kalau ibu tak ada. Sampai kapanpun, aku pasti memerlukan ibu.

Kupandangi sekali lagi kegembiraan di sampingku. Tersenyum ketika sebuah ide muncul di kepalaku. Terima kasih Tuhan karena sudah mengingatkanku, bisikku dalam hati. Kutarik rem tangan yang sedari tadi kupegang dan menyetir menuju rumahku, rumah ibuku tersayang.

Tak sampai dua setengah jam kemudian, aku membangunkan ibu dan memeluknya erat meminta maaf. Ibu yang tampak bingung, hanya mengangguk bingung dan membalas pelukanku. Anehnya, meskipun tidak tahu kenapa aku menangis menyesal, air mata ibu ikut menetes. Waktu kutanya, kenapa dia menangis, eh dia malah menjawab, “yaah, mas pake nanya. Mas menangis ya ibu menangis. Mana ada ibu tertawa sementara anaknya menangis? Mas kan jantungnya Ibu.” Jawaban itu membuatku teringat kata-kata si Emak, serupa tapi tak sama. Sama-sama menggambarkan bahwa hati mereka gembira kalau anak gembira, sedih kalau anak sedih. Lalu adilkah kalau hati anak gembira sementara hati ibu sedih?
Ibu, i love you so much……..

Dedicated  for my lovely mother, great grandma and best friend for me…love u so much, ibu Ramlah. Happy Birthday n wishing u always health and happy.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena