Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Tuesday 8 November 2011

Aku Benci Hujan


“Aku benci hujan, aku akan selalu benci hujan” bisikku dalam hati. Aku menghela nafas, menatap keluar jendela kaca. Tampak titik-titik air hujan membasahi kaca, mengembun membentuk bias-bias mengaburkan pandangan. Kusentuh kaca jendela, dingin. Dingin seperti hatiku yang telah hancur, patah dan menjadi es batu.
Hujanlah penyebabnya. Hujanlah yang membuat semua mimpiku hancur berkeping-keping. Kehidupanku berubah drastis semua karena hujan. Hujan membuat semua yang kurencanakan hancur.

Berkali-kali hujan membuatku kecewa. Karena hujan aku beberapa kali kehilangan. Hujan, hujan, hujan. Aarrggh!!  Aku ingin menjerit dan mengatakan pada hujan. Pergilah! Pergilah! Jangan pernah datang lagi dan mengacaukan hidupku!
Aku kehilangan ayah ketika ia sedang berjuang keras di tengah lautan. Karena hujan badai dan angin kencang, kapal ayah tenggelam ke dasar lautan. Membuat aku menjadi yatim di usiaku yang ke enam.
Dahulu beberapa kali aku sempat mengalami kekecewaan karena hujan. Ibu terlambat datang ke acara resitalku  hanya karena hujan terlalu deras turun membasahi bumi. Beberapa hari yang lalu, pacarku batal datang melamar karena hujan membuat banjir halaman rumahku. Malah akhirnya ibu memintaku putus dari pacarku. Alasan ibu, ”kalau karena hujan saja dia tidak mau datang dan membuat ibu malu karena terlanjur mengundang orang, lebih baik tak usah meneruskan hubungan kamu dengannya.”
Hari ini pun bosku memarahiku karena aku gagal mempresentasikan proposal. Bagaimana tidak? Motor adalah kendaraan andalanku kalau sedang memburu waktu dan di hari saat hujan turun tentu saja itu tidak mungkin lagi. Presentasi gagal berarti aku gagal mendapatkan bonus tambahan bulan ini. Padahal aku membutuhkan bonus itu untuk berlibur, agar bisa melupakan kekecewaanku karena putus dari pacarku. Lengkap sudah apa yang kualami bulan ini.
“Ran, Sudah sana pergi saja naik taksi. Pakai ojek payung dari depan tuh banyak. Kalau kamu terus menunggu di sini, lama-lama bisa kemalaman. Rumahmu kan jauh.” Kata Sabrina, rekan kerjaku dari seberang meja. Ia sedang merapikan dokumen kerjanya ke dalam tas.
Ah, tentu saja Sabrina langsung pulang. Barusan tadi pacarnya sudah menelepon. Pasti dia dijemput lagi. Ingin menumpang mobil pacar Sabrina, jelas tidak mungkin. Rumahku kan berlawanan arah dengan rumah Sabrina. Lagipula malulah mengganggu orang lain sedang pacaran.
“Iya, Bri. Aku memang sudah mau pulang. Dika udah datang?” tanyaku berbasa basi.
Sabrina mengangguk, “Iya, dia nunggu di tempat parkir. Aku duluan ya, Ran!” pamit Sabrina meninggalkan aku seorang diri di ruangan itu.
Aku menghela nafas. Lebih baik aku pulang sajalah, Maghrib bahkan sudah lewat dari tadi. Daripada membuat ibu terus menelepon karena kuatir, lebih baik aku mencari cara agar pulang ke rumah.
Di depan gedung kantorku, aku menjulurkan leher mencari ojek payung. Dua orang Satpam gedung juga ikut membantu mencarikan, salah satu Satpam berhasil mendapatkannya untukku. Ia memanggil seorang anak pengojek payung.
“Payung mba?” tanya seorang anak padaku. Aku mengangguk, ia menyodorkan payungnya.
“Berapa kalau sampai halte bis di depan situ?” tanyaku sambil mengambil payungnya. Anak itu mengacungkan empat jarinya dan akupun mengangguk setuju.
Dia membawa dua payung, satu digunakan olehku dan satu lagi olehnya. Dia berjalan di belakangku. Walaupun memakai payung, kulihat tubuhnya sudah basah kuyup oleh hujan. Aku berjalan terburu-buru karena melihat jalan sudah mulai sepi.
“Mbak! Mbak, Tunggu!” panggil anak itu tiba-tiba. Aku berhenti dan menoleh. Ia berlari menyusul tidak memperdulikan tubuhnya jadi bertambah basah.
“Mbak tunggu sebentar. Ada yang mau pakai payung juga. Sebentar saja mbak!” pintanya dengan memelas. Aku tersenyum mengangguk.
Anak itu berlari menuju sebuah pintu kantor lain. Seorang pria tampak bernegosiasi sebelum akhirnya dia mengambil payung dari tangan anak itu. Mereka berjalan beriringan menuju ke arahku. Akupun kembali melangkah menuju halte tujuanku.
Rupanya pria itu juga bertujuan sama denganku. Ketika sampai di halte, ternyata halte sudah penuh sekali dengan orang yang sedang berteduh. Bukan hanya para pejalan kaki seperti diriku, bahkan para pengemudi motorpun banyak yang ikut berteduh di bawahnya.
“Pakai saja dulu mbak, mas! Saya tungguin deh.” Kata anak itu ketika melihatku dan pria itu sama-sama kebingungan. Kami ingin mengembalikan payung segera, tapi melihat halte yang begitu penuh tetap saja nanti kami kebasahan.
Aku berdiri bersisian dengan pria itu. Sementara anak tadi berdiri di belakangku sambil memeluk tubuhnya dengan tangan. Aku kasihan melihatnya tampak kedinginan seperti itu dan berharap ada taksi yang segera datang agar aku bisa mengembalikan payungnya.
Tapi susah sekali. Begitu ada taksi, banyak orang berebut masuk dan aku selalu tertinggal.
“Dul, gimana lu hari ini? Banyak dapetnya?” terdengar suara memanggil dari belakangku. Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada sesama tukang ojek payung sedang menyapa anak tadi.
“Lumayanlah buat obat emak nanti. Panen gue hari ini. Lu gimane?” anak tadi balik bertanya pada temannya yang tampak seusia dirinya.
“Yaah, udeh dapet goban.  Gue bisa tenang nih dua hari.” Jawab temannya.
“Banyakan gue dong, tri. Ntar lagi gue dapet cepek nih.” Balas anak tadi setengah tertawa.
“Tapi biaya obat emak lu kan masih banyak, Dul. Darimana lu dapet sebanyak ntu?”
Anak tadi tersenyum, ”Ya, gue cuma ngarep besok besok hujan lagi. Jadi emak bisa sembuh dah.”
“Ho oh, emak lu sembuh, orang banyak yang sakit gara-gara kena flu. Dasar lu!” Suara tawa keduanya membahana.
Aku melirik pria di sampingku. Ia tersenyum menyadari akupun ikut mendengar percakapan itu. Tapi ia tak berkata apapun padaku. Ia keburu menatap ke depan, berkonsentrasi saat melihat sebuah taksi mendekat ke halte.
Pria itu berlari menyongsong taksi dan dia berhasil mendapatkannya. Anak tadi berlari menyusulnya dan entah apa yang mereka bicarakan, anak tadi kembali mendatangiku.
“Mbak, kata mas tadi mau ikut gak sekalian? Dia mau ke arah Pasar Baru. Mbak ke mana?”
“Ke Sunter” Jawabku.
“Ya sudah mbak, ikut saja. Jam segini taksi sudah susah. “ kata anak itu. Aku mengangguk setuju.
Anak tadi kembali berlari ke arah taksi yang menunggu. Ia berbicara dengan pria tadi sebelum membukakan pintu belakang untukku. Aku menyusulnya, sebelum masuk aku melihat pria tadi sibuk menjelaskan rute kami pada si supir taksi.
Setelah masuk, aku mengembalikan payungku pada anak tadi. Demikian pula pria tadi. Kami sama-sama sibuk merogoh dompet untuk membayar upah ojek payung tadi.
Tapi betapa terkejutnya kami berdua, Kami sama-sama mengeluarkan uang limapuluh ribuan untuk anak tadi.
“Aduh! Saya tidak punya kembaliannya, Mas, Mbak. Gimana nih? Tri Tri! Sini dulu!” anak tadi tampak kebingungan mencari kembalian, iapun memanggil temannya.
Aku dan pria itu sama-sama tersenyum. Lalu aku bilang, “Biarlah ini buatmu saja de. Untuk ibumu ya!”
“Ini saja mbak, ini juga sudah kebanyakan.” Kata anak itu sambil menolak uang dari pria tadi.
“Loh itu dari mbak itu, kalau ini dari saya. Terima kasih karena gara-gara kamu saya bisa setaksi sama cewek yang sudah saya incar lama. Nih, mudah-mudahan bisa bantu ya!” ujar pria itu dengan wajah jenaka. Anak tadi tertawa kecil.
Akhirnya anak itu menerima uang kami berdua walaupun sedikit ragu. Tapi kami tersenyum padanya dan menutup pintu kembali. Anak itu tampak mengusap matanya. Entah karena air mata atau karena basah terkena air hujan. Aku melihat dari balik jendela kaca taksi, temannya menepuk-nepuk bahunya. Wajah mereka kelihatan bahagia.
Aku berbalik dan menatap pria di sampingku. Ia tersenyum padaku. “Boleh kita berkenalan?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya sambil bertanya tentang kata-katanya tadi. Dari ceritanya, aku baru tahu kalau pria itu bekerja di dekat kantorku dan sudah sering memperhatikanku karena kami sering satu bis bareng kalau pulang atau pergi kerja, tetapi tak berani mendekatiku.
Untuk pertama kalinya aku berterimakasih pada hujan. Hujan mungkin musibah bagi orang lain, tapi hujan juga rezeki bagi yang lainnya. Aku pun bertemu pria yang baik di hari itu, orang yang akhirnya kupilih jadi suamiku.

0 comments:

Post a Comment

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena