Ruang Cerita

Kumpulan Cerita Fiksi Karya Bunda Iin

Sunday 20 April 2014

Cinta Murni

Istirahat kelas baru saja selesai dan sebagian anak-anak berlarian menuju tempat cuci tangan, bersiap-siap untuk pulang. Para ibu guru bergerak ke sana ke mari untuk mengawasi tingkah anak-anak yang terkadang lepas kendali. Beberapa anak dari kelas Ara, putriku sudah mulai keluar satu persatu. Tapi Ara belum juga nampak.
Aku berdiri di dekat gerbang. Sebentar lagi, giliran Ara pasti tiba. Sambil menunggu, aku memandangi sekelilingku. Melihat ke arah bangku khusus orangtua yang penuh dan kuputuskan untuk menunggu di dekat gerbang itu saja.
Tak jauh dari tempatku berdiri, ada Yozi. Anak berumur lima tahun itu, menyatukan kedua tangannya. Sebentar ia melirik padaku, sesaat kemudian ia kembali menatap Mamanya. Entah apa yang mereka bicarakan. Jarakku terlalu jauh untuk mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak itu. Raut wajah anak itu tampak kusut, dan semakin bertambah kusut mendengar ucapan Mamanya yang terus menunjuk padaku. Sepertinya ia sedang memohon sesuatu. Entah apa.
Karena penasaran, kakiku pun melangkah mendekati mereka. Mungkin aku bisa membantu anak yang terus berdiri seperti robot dengan mata melirik ke sana ke mari.
“Kenapa, Yo? Pengen apa?” tanyaku santai.
Bukannya menjawab, wajah Yozi malah memucat. Mamanya yang tadi membuang muka dari anaknya, melihat ke arahku dengan tersenyum. Lalu melemparkan tatapan tajam pada Yozi.
“Tuh, Mama Ara sudah di sini! Minta maaf sana!” kata Mama Yozi dengan oktaf ditinggikan.
Dengan wajah takut-takut, Yozi menyodorkan tangan kanannya padaku. “Ma.. maafin Yo, Tante.”
Aku terkejut. “Loh untuk apa?” tanyaku sambil berjongkok. Aku bisa melihat dengan jelas wajah Yozi yang masih pucat.
“Ta.. tadi Yozi numpahin bekal Ara. Tapi Yozi gak sengaja, Tante. Sungguh!” jawabnya cepat sambil mengangguk-angguk.
Aku melepaskan senyum untuk menenangkannya. “Ya gak papa, Yo. Tadi udah bilang sama Ara?”
Anak laki-laki malah kelihatan kecewa. “Iya, tadi Yozi sudah bilang maaf sama Ara. Tapi Aranya malah nangis, Tante. Trus Yozi kasihin bekal Yozi tapi Ara masih nangis terus. Kata Mama, Yozi disuruh minta maaf sama Tante aja.”
“Memangnya kenapa Yozi tumpahin bekal Ara?” selidikku tanpa berhenti tersenyum.
“Yozi gak sengaja, Tan. Yozi gak sabar mau makan bekal sama Ara, terus tangan Yozi nyenggol kotak makan Ara. Terus jatuh deh… “Anak itu mengakhiri penjelasannya dengan tertunduk lesu.
“Sekarang Yozi sudah makan?”
Dia menggeleng. Tak berani menatap wajahku.
“Terus kotak makan Yozi di mana?” tanyaku lagi.
Tanpa menjawab, Yozi menunjuk ke arah kelas. Keningku berkerut. Kulemparkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Mama Yozi yang ikut mendengarkan pembicaraanku dengan putranya. Ia hanya tersenyum simpul.
“Kita cari Ara yuk!” ajakku. Tanpa peduli raut wajah kuatir yang tergambar jelas di wajah anak laki-laki setinggi pinggangku itu, aku menggandeng tangannya. Mamanya tetap duduk masih sambil tersenyum-senyum. Ia membiarkan Yozi menghadapiku sendiri, karena ia mungkin memahami kalau aku juga sayang pada putranya.
Putriku masih duduk di bangku kelasnya yang sudah kosong, bersama salah satu ibu guru yang terus membujuknya untuk tidak menangis. Mata Ara masih basah. Dadanya masih turun naik menyisakan sesegukan yang belum berhenti. Samar tercium aroma nasi goreng ayam yang kumasakkannya pagi tadi dari tubuh putriku. Ada noda bekas tumpahan nasi di bagian dada seragamnya.
Tangan anak laki-laki yang kugenggam makin terasa berat. Mungkin ia takut bertemu Ara. Meski setengah menyeretnya, akhirnya aku bisa mencapai meja tempat Ara duduk. Ara mendongak, menatapku lalu tangisnya pecah lagi. “Mamaaa!” dan ia pun menyerbu dalam pelukanku. Menangis tersedu-sedu. Spontan aku berjongkok memeluknya. Tanpa sadar aku melepas genggamanku dari tangan Yozi.
“Maaf, Ma. Tadi nasi bekal Ara tumpah. Jadi… “ Ibu guru berdiri menjelaskan tapi aku mengangkat tangan untuk memotongnya. Mataku melihat ke meja, sebuah kotak makan bening  berstiker Spiderman tergeletak di sana dan isinya terlihat utuh.
“Gak papa, Ra. Gak papa. Nanti di rumah kan bisa mama masakin lagi nasi gorengnya,” bujukku di telinga Ara.
“Tapi Ara maunya makan sama Kak Zi! Huhuhu…. “isaknya lagi.
Aku tersadar. Kini aku menyadari apa yang sedang terjadi. Antara Ara dan Yozi, mengapa Ara menangis dan mengapa ia tak menyentuh kotak makan pengganti dari Yozi. Kulepaskan pelan-pelan pelukanku dari Ara.
“Jadi Ara nangis bukan karena nasi gorengnya tumpah? Tapi karena gak bisa makan bareng Kak Zi?” tebakku.
Tebakanku tepat. Kepang Ara bergerak naik turun mengiyakan. Sesegukannya mulai berkurang. Ia sedikit lebih tenang mendengar kata-kataku. Kulemparkan senyum pada Ara.
“Ara tahu tidak? Tadi Kak Zi sedih juga waktu lihat Ara nangis. Ya kan Kak Zi?” Aku menoleh pada Yozi yang masih berada di belakangku. Yozi mengangguk cepat dan berulang kali meyakinkan.
“Kak Zi juga belum makan, Ra. Kak Zi gak bisa makan kalau Ara sedih. Ara gak kasihan sama Kak Zi?”
Ara menatap Yozi. Mata polosnya tampak kuatir. Ia bergerak mengambil kotak makan berstiker spiderman itu dan menyerahkan kembali pada Yozi. “Kak Zi! Makan!”
Aku tersenyum pada Yozi. “Tuh, Zi. Dibalikin sama Ara. Yozi makan saja. Yozi belum makan, kan?”
Yozi masih kelihatan ragu. “Ara juga belum makan,” ucapnya pelan.
“Nanti Tante beliin sosis goreng di kantin saja. Hari ini Ara boleh jajan.”
“Gak usah, Tan!” potong Yozi cepat. Lalu ia menatap Ara dengan tulus. “Aku mau bagi bekalku buat Ara. Ara mau gak?”
Mata Ara membulat. Bersinar gembira. Ia mengangguk dua kali.
Tak lama, dua anak itu sudah duduk lagi di meja mereka. Makan bersama dalam piring berbeda namun menu yang sama. Spageti dengan bakso. Keduanya tersenyum-senyum, sambil mengobrol tentang mainan. Ara sudah ceria lagi. Mata sembabnya sudah bersinar kembali. Yozi tak lagi tampak pucat ketakutan karena kini ia memamerkan mimik lucu pada Ara yang tertawa melihatnya. Aku dan Mama Yozi hanya berdiri mengawasi keduanya dari balik kaca jendela ruang kelas. Kami hanya bisa ikut tersenyum melihat keduanya.
Mereka masih duduk di bangku TK. Ara masih empat tahun setengah dan Yozi yang baru saja merayakan ulang tahun kelimanya. Aku tak tahu mengapa kedua anak itu lebih akrab daripada dengan teman-teman mereka yang lain. Seringkali ketika Ara lagi enggan ke sekolah, aku memakai nama Yozi untuk membuatnya bangkit dan bersemangat lagi. Ternyata Mama Yozi pun demikian. Tanpa kami sadari, kedua putra putri kami berubah menjadi dua orang sahabat dekat yang sangat akrab.
Mereka, mungkin tak paham artinya cinta. Apalagi cinta dewasa. Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Tapi yang aku tahu, inilah persahabatan sejati. Cinta yang murni antara sepasang anak yang tak tahu arti kata dari setia, cinta apalagi kasih sayang. Yang mereka tahu, hanyalah bagaimana mengekspresikan perasaan mereka. Seperti pada saya, Ara juga memberikannya pada sahabatnya. Pada Yozi, ia melihatnya sebagai sosok adik yang harus ia jaga.
Masih panjang waktu mereka. Banyak yang akan berubah. Kalaupun berubah, suatu hari akan kuceritakan pada Ara yang sudah dewasa, gadisku yang sudah mengenal seluruh dunia seperti apa dirinya ketika masih TK. Tentang seorang anak laki-laki bernama Yozi, yang mau membagi makan siangnya, yang selalu menggandengnya, yang selalu duduk di sampingnya, yang selalu membujuknya saat menangis, yang meminta maaf karena membuatnya menangis da membuatnya tersenyum bahagia lagi. Tentang sebuah cinta murni sepasang anak TK.
******
Read More

Saturday 21 September 2013

Black Dream : Impian Atik (1)

Rambutnya berkibar terkena angin saat ia berlari-lari kecil mendekati rombongan kecil yang berdiri di depan pagar sekolah. 

"Tik! Selamat ya!"

"Hebat!! Kamu memang hebat!"
Read More

Wednesday 12 December 2012

Ombak (1)

Aku merindukan Emak. Aku juga merindukan Bapak. Aku lebih merindukan Haikal dan Ibrahim. Dan rindu itu tak pernah berhenti sampai hari ini. Rindu yang mengiringi harapan, bahwa mereka hanya sementara pergi dariku, bahwa mereka sedang tersesat dan lupa jalan untuk pulang. Suatu hari, ketika peringatan hari spesial itu tiba, mereka datang padaku dengan rindu yang sama dan berkata. “Laila, kami sangat merindukanmu.”

Mataku mulai berair, lagi. Aku tersenyum. Senang mengetahui airmataku ternyata belum kering meski terkuras begitu banyak selama delapan tahun terakhir ini. Setidaknya airmata ini telah membuktikan bahwa hatiku masih basah. Basah oleh cinta dan rindu, yang tersisa setelah rasa kehilangan yang terlalu tiba-tiba.

Kakiku mulai terasa pegal dan aku berdiri. Menatap ke arah pasir putih di ujung bukit. Jika diperhatikan dengan seksama, lautan pasir itu menutupi sisa-sisa keramik lantai yang kini hampir menjadi puing. Dulu salah satunya adalah lantai rumahku. Dimana kehidupanku dimulai.

Bapakku seorang penjual ikan di pasar. Setiap tengah malam, ia pamit dan berjuang mendapatkan jatah untuk dijual. Emak menyusulnya setelah sholat subuh, membantu Bapak berjualan di pasar hingga matahari hampir melewati kepala. Aku, anak perempuan pertama mereka. Aku lahir tengah malam, saat Bapak sudah pergi ke ujung dermaga. Emak berjuang melahirkanku dibantu dukun beranak yang baik hati mau tinggal beberapa hari menemani Emak sebelum ia melahirkan. Mereka memberikanku nama Laila, keindahan malam. Semua orang bilang aku sangat mirip dengan Bapak.

Usiaku berbanding jauh dengan Haikal, adik laki-lakiku. Ia lahir ketika aku sudah duduk di kelas 6 SD. Wajahnya putih bersih, tidak kecoklatan sepertiku atau Bapak. Dia lebih mirip Emak. Rambutnya pun keriting seperti Emak. Hanya matanya yang serupa denganku. Haikal lucu saat balita. Karena kesibukan Emak, akulah yang lebih banyak merawat Haikal.

Tak sampai dua tahun, Bapak datang membawa pulang seorang bayi laki-laki lain. Tak seperti kelahiran Haikal yang disambut dengan gembira dan penuh sukacita, kedatangan bayi ini justru membuat orangtuaku murung. Bayi itu anak laki-laki adik Bapak yang tewas tertelan oleh lautan yang memberi kami makan dan sang Ibu juga menyusul tak lama kemudian karena tak kuat menanggung derita sendirian. Kali itu, Emaklah yang memberi nama. Ibrahim. Kata Emak, agar suatu hari anak ini menjadi anak yang tabah, tangguh dan teguh seperti Nabi Ibrahim AS.

Meski miskin, meski harus merasakan rumah yang sempit dan harus selalu berbagi. Aku bahagia. Emak dan Bapak yang harus giat bekerja, selalu pulang dengan wajah bahagia. Haikal dan Ibrahim tumbuh bersama, di bawah pengawasanku. Pekerjaan rumah tangga, sedikit demi sedikit menjadi tanggung jawabku. Bahkan akhirnya aku memasak.

Ada janji yang kulontarkan pada Emak.

“Akan kubuat toko kelontong seperti yang ada di kota untuk Emak. Supaya Emak tak berpanas dan berbau lagi saat berdagang. Emak tinggal duduk-duduk mengawasi pembeli yang datang. Lalu bisa menemani adik-adikku lebih sering.”

“Amiin… Semoga Allah mengabulkan niat baikmu ya Nak.”

“Aku akan merantau. Cari uang yang banyak untuk Emak dan Bapak. Kalau uangku sudah banyak, aku janji membuat toko itu nanti.”

Emak hanya tersenyum, hanya tangannya yang mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang. Tak ada kata-kata dari mulutnya, tapi mata yang berbicara kalau ia tak merelakanku pergi jauh darinya.

Tapi Emak tak pernah mencegah. Bahkan ketika hari di mana aku memutuskan untuk pergi. Emak hanya tersenyum, meski aku tahu senyum itu sangat dipaksakan. Emak menghindariku sejak seminggu sebelum aku berlayar meninggalkan Meulaboh, menumpang dengan seorang teman Bapak yang hendak ke Banda. Hanya Bapak yang akhirnya buka suara dengan kebijaksanaannya yang selalu kusegani.

“Emak takut tangisnya akan mengurungkan niatmu. Biarlah. Biar waktu yang mengobati rindu Emakmu nanti. Jagalah dirimu baik-baik, Laila. Jangan menuruti hawa nafsu, berusahalah semampumu tapi biarkan Allah SWT yang menunjukkan hasilnya. Ikuti saja air yang mengalir. Sebelum bekerja, ucapkanlah Bismillahi Tawakaltu Allaahu, Laa Haula Walaa Quaata Illaa Billaahi. Bekerja dan berusaha dengan mengingat Allah, bertawakal saat menjalaninya, lalu pasrahkan semuanya karena tak ada kekuatan yang lebih besar selain Allah.”

“Ya Bapak.”

“Sering-sering menulis surat untuk sekedar menawar rindu Emak dan adik-adikmu.”

“Ya Bapak.”

“Ingatlah Allah selalu, anakku.” Dan Bapak tiba-tiba diam. Ia berpaling ke arah lain, tangannya tampak sibuk menghapus air yang jatuh dari matanya yang hampir tak pernah kulihat basah. Aku tak sanggup menahan sedih. Kalau Bapak sampai menangis, berarti ia benar-benar sedang sedih. Aku juga menangis. Sedih karena harus meninggalkan orang-orang yang kucintai.

Nasehat itu masih terngiang sampai sekarang, Bapak. Nasehat itu ibarat api yang selalu membakar semangatku setiap hari baru tiba ketika aku berada di Jakarta. Berjuang dari bawah, sebagai seorang pembantu rumah tangga. Kemahiranku mengurus rumah tangga ternyata sangat membantu saat itu. Bahkan akhirnya aku bisa mengubah profesiku menjadi Baby Sitter dengan bekerja pada keluarga yang sangat baik. Berkat mengurus Haikal dan Ibrahim, aku bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih layak.

Tiap bulan, aku menyisihkan sebagian besar gaji untuk ditabung. Aku memang tak pernah mengirim ke kampung karena Bapak dan Emak melarangnya. Satu kali aku mengirimnya via pos, tapi tak pernah sampai. Entah siapa yang menerima dan kemana perginya weselpos itu, yang menguap seakan dibawa oleh semilir angin pantai Meulaboh. Lagipula, Emak dan Bapak merasa masih mampu untuk membiayai sekolah adik-adikku.

Kau bisa hidup dengan baik di sana, makan dengan layak dan berpakaian dengan baik sudah cukup bagi kami. Tak usahlah kau berbagi rezeki dengan kami, putriku yang cantik. Simpan untuk masa depanmu. Tenang saja, Emak dan Bapak masih sanggup bekerja. Allah akan mencukupkan kebutuhan kami. Insya Allah.

Itu yang ditulis Bapak ketika aku mengeluhkan soal wesel yang tak pernah sampai. Dan aku memang tak pernah mengirimkan uang lagi. Pikiranku Cuma satu, aku ingin menunaikan janjiku pada Emak. Toko Kelontong dengan ruangan berair-conditioner seperti yang pernah kami lihat ketika nonton televisi bersama dulu.

Sedikit demi sedikit, setelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya, aku masih terus menabung. Kalau lelah datang mendera, kularikan semua itu dengan mengadu pada Sang Kuasa atau menatap kembali beberapa foto Emak, Bapak dan adik-adik yang secara rutin mereka kirimkan padaku.

Beberapa lebaran terlewat tanpa kehadiranku, sampai kemudian aku tak lagi bisa bertahan. Hampir lima tahun berlalu, sebelum akhirnya aku ikut rombongan pemudik pulang melepas kangen pada keluarga. Terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba, Emak sampai memecahkan piring karena tak sabar untuk memelukku. Haikal, kini sudah hampir setinggi pundakku dan ia dengan bangga memamerkan kemampuannya menendang bola yang dulu sering kutertawai. Adikku yang terkecil, Ibrahim yang tak banyak bicara pun ikut ambil bagian menarik perhatianku dengan memperlihatkan sebuah lukisan yang indah di kamarnya. Lukisan bercorak pantai berpasir putih dengan seorang gadis yang menggandeng dua anak kecil. Itu pasti aku dan mereka.

Dulu kami memang banyak menghabiskan sore-sore yang indah di pantai dekat rumah kami. Di sanalah kami berlari-lari, dengan ujung celana basah, saling mencipratkan air asin itu ke wajah. Atau saat ombak sedang bersahabat, kami pun menyusui pantai mencari kerang-kerang besar yang kosong. Seperti dulu saat Bapak mengajarkan tentang musik lautan, akupun mengajari adik-adikku.

Kudekatkan kerang besar kosong itu di telinga mereka, lalu berbisik, “pejamkan matamu, adikku dan dengarkanlah musik lautan.”

Siisssh, sisssh, siiisssh… Desah musik lautan itu membelai telinga kedua adikku. Mata mereka bergerak-gerak mendengarkan dengan seksama. Saat mata itu terbuka, mereka terpukau.

“Itukah musik lautan, Kak?”

Aku mengangguk. Keduanya terperangah.

“Kok bisa? Kenapa…” Aku hanya tersenyum dan membentangkan tanganku lebar-lebar.

Ombak, dialah musik lautan. Kerang itu hanyalah perekam sang ombak. Ombak membawa berita tentang lautan. Tentang air, tentang persahabatannya dengan manusia, tentang kekuasaannya yang semakin luas, tentang makhluk-makhluk penghuninya yang diam namun menjerit karena perilaku manusia, tentang langit yang tercermin dalam kaca-kaca lautan nan bening.

Saat itu mereka tak mengerti. Namun seiring waktu, Bapak pun mengajarkan hal yang sama pada mereka. Bahwa ombak dengan musiknya sedang memberitahu kita apa isi hatinya. Bahwa manusia hanya perlu mendengarkan, melihat dan memahami untuk tahu bahwa ombak sedang berbaik hati atau menyimpan amarah.

Dalam surat-surat Bapak dan Emak, mereka bercerita tentang Ibrahim. Ibrahim-ku, adik kecil yang terlahir dengan jiwa puitis masih sering datang ke pantai untuk memejamkan matanya menikmati angin laut yang menyapu wajahnya dengan tangan terbentang dan membisikkan kata-kata yang tak jelas.

Kusentil pundak Ibrahim dengan pundakku. “Kamu masih melakukannya?”

“Apa? Melakukan apa, Kak?” tanya Ibrahim bingung.

“Bicara dengan laut tentu saja. Masih?”

Ibrahim tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Kalau lagi tak sekolah. Aku bilang sama laut, untuk membawa Kakakku kembali karena aku rindu padanya. Rindu mendengarkan musik lautan bersamanya.”

Senyumku lenyap. Batin ini terasa tercekat. Mataku yang tadi sanggup menahan airmata kini mulai terasa panas. Sebentar lagi, sedikit lagi bendungan airmataku bakal jebol. Dan untunglah Emak memahami ekspresi wajahku. Ia menepuk bahu Ibrahim, mengalihkan perhatiannya.

Lebaran itu, aku mengunjungi banyak orang. Entah itu teman-teman masa kecil, teman-teman ketika sekolah, juga keluarga Bapak dan Emak yang rata-rata pencari atau penjual ikan seperti mereka. Aku ingin melepas kerinduanku akan kampung halaman yang membesarkan diriku seperti sekarang.

Tak sekali aku datang memasuki perkampungan para nelayan. Bau amis ikan segar bercampur ikan asin yang sedang dijemur seperti mengembalikan ingatanku akan masa kecilku di kampung itu. Bermain-main di antara bangsal penjualan ikan, lalu bercanda berlarian di antara ikan-ikan asin yang dijemur bersama teman-teman. Semua masih segar dalam ingatanku. Betapa sederhananya kebahagiaanku saat itu, tak pakai sandalpun tak apa, yang penting bisa bermain, menunggu Emak dan Bapak selesai berdagang. Itu pula yang dilakukan Haikal dan Ibrahim kemudian. Bau yang menyengat itu bagai wangi kehidupan yang membuat kami takkan pernah bisa melupakan, bahwa lautan itu adalah sahabat.

Sayang, kemiskinan yang dirasakan banyak orang di kampung nelayan ternyata menyentuh hati terdalam Haikal. Seperti diriku yang ingin mengeluarkan kedua orangtua kami dari kubangan itu, Haikal pun ingin melakukan hal yang sama. Miskin membuat Haikal paham, apa artinya uang.

“Aku mau jadi dokter, Kak!” katanya dengan mantap. Wajah Haikal yang keras karena sering membantu Bapak berdagang tampak serius.

Bapak menunduk, Emak hanya tersenyum. Senyum Emak sangat tipis. Senyum itu bagai mengungkapkan perasaan putus asa yang menaungi harapan Haikal.

“Realistis saja, Kal. Jadi dokter itu biayanya sangat banyak.”

“Aku akan cari beasiswa. Aku juga akan bekerja sambil kuliah. Kalau Kak Laila bisa, aku juga bisa.”

Sorot mata yakin itu membuatku lega. Haikal punya mimpi, sama sepertiku dulu. Banyak orang apatis menerima mimpi itu, tapi Bapak tidak. Sekarang Bapak memang tidak mendukung Haikal seperti dulu mendukung aku, tapi aku percaya pada kekuatan harapan.

Aku berjanji menjemput Haikal kalau dia sudah menyelesaikan ujian terakhir Sekolah Menengah Akhirnya, dengan syarat dia menjadi yang terbaik. Aku tahu itu bukan janji yang sulit. Haikal itu cerdas sejak masih kecil dulu. Aku ingat, Bapak dan Emak pernah diundang menghadiri penghargaan siswa yang lulus terbaik ketika dia lulus dari sekolah menengah pertama. Aku yakin pula, kali ini Haikal juga pasti bisa melalui ujian akhirnya dengan nilai yang memuaskan.

“Janganlah takut, Emak! Aku akan menjaga Haikal baik-baik. Sayang kalau otak yang begitu encer disia-siakan begitu saja. Biarkanlah dia meraih cita-citanya menjadi dokter, Mak. Dulu Emak bisa melepasku, kenapa tidak pada Haikal?”

Emak menghela nafas. Ia tak menyahut. Tangannya tetap sibuk mengumpulkan piring-piring kotor yang baru selesai kami gunakan tadi setelah makan malam.

“Biarkan itu di situ, Mak. Biar aku yang mengerjakan,” bisikku sambil menyentuh bahu perempuan yang rambutnya kini sebagian telah memutih.

Emak tersenyum tipis. Ia menepis tanganku dengan halus. “Dulu, Emak berharap punya anak-anak yang selalu ringan tangan dan mau membantu pekerjaan Emak. Bahkan meski sekedar membereskan tempat tidur saja. Bukan main senang hati Emak melihat kalian benar-benar tumbuh jadi anak-anak yang begitu rajin. Terutama kau, Laila. Sampai kemudian, kau merantau…”

“Emak baru sadar, banyak hal yang telah Emak lewati selama ini. Emak jarang membuatkan kue yang kau suka. Emak jarang memasakkan sayur lodeh yang selalu kau lahap dengan cepat. Emak merasa terlalu banyak hal yang jarang dan mungkin tak pernah Emak lakukan untukmu. Maka sekarang, saat kau di sini, Emak ingin melakukannya untukmu. Emak ingin membereskan tempat tidur untukmu, menyetrika lagi pakaianmu, memasak untukmu bahkan mencuci setiap piring kotor yang kaupakai. Buat Emak, inilah kesempatan Emak untuk mengurusmu, putriku. ”

Emak berbalik. Aku tahu, ia pasti menyembunyikan tangisnya lagi. “Jangan menangis, Mak! Menangislah kalau Emak merasa bahagia, jangan menangis karena Emak merasa susah karena setiap tetes airmata Emak akan menjadi dosa bagiku. Maafkan Laila, Mak,” kataku sambil memeluknya dari belakang.

Perempuan yang kini hanya setinggi bahuku itu mengangguk dan aku bisa merasakan tangisnya yang makin kencang. Sungguh Emak, kaulah ibu terbaik yang kumiliki dan kau telah memberikan segalanya untukku.

“Kalau Haikal ingin kuliah di Jakarta, Emak bukannya tak rela. Emak hanya sadar, Emak juga jarang bersamanya selama ini. Emak tak tahu lagi. Masih adakah umur Emak saat nanti ia kembali?”

“Emak!” Haikal masuk dengan wajah memerah. Matanya tampak berkaca-kaca. “Jangan berkata seperti itu, Mak!” sambungnya.

“Haikaal…” Nada suaraku meninggi mendengar Haikal yang berkata pada Emak dengan intonasi sedikit tinggi.

“Haikal kuliah ini untuk Emak dan Bapak. Haikal ingin jadi dokter untuk Emak. Emak sering bilang obat kampung lebih manjur daripada obat dari dokter, padahal itu karena Emak tak sanggup membayar obatnya kan? Haikal ingin menjadi dokter yang bisa memberikan obat yang murah, Mak. Supaya Emak dan Bapak selalu sehat, lebih banyak waktu untuk bersama Kakak, Haikal dan Ibra. Emak harus menunggu dengan sabar, supaya ilmu Haikal tak sia-sia.”

Emak menoleh. Airmatanya yang hampir mengering, kini kembali menggenang. Tapi sorot mata Emak kini berbeda. Sorot mata bangga.

Di hari kepulanganku, setelah selesai sholat subuh aku berpamitan pada laut. Bersama Ibrahim, aku membentangkan tanganku selebar mungkin dan berbisik. “Selamat tinggal, Lautan! Jadilah sahabat yang baik untuk semua orang yang ada di sini dan tunggulah aku pulang.”

Tak seperti kepergianku sebelumnya, kali ini Bapak yang berat melepasku. Berkali-kali saat mengantarkanku ke terminal bus, dia menghela nafas berat. Tapi, akhirnya aku pergi juga. Dengan perasaan yang jauh berbeda. Kali ini entah mengapa, ada sesuatu yang kosong terasa begitu menyakitkan saat melihat sosok Bapak yang menjauh dari pandangan.

Setahun berlalu. Ternyata rencanaku tak semuanya berjalan lancar. Aku memutuskan untuk membuka usaha di Jakarta. Aku lelah berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lain, dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun ternyata, keputusan itu cukup tepat. Penghasilanku semakin hari semakin meningkat, meski terkadang ada saat-saat yang sepi namun kini aku bisa mengontrak rumah dengan lebih layak. Bapak pun pernah datang sekali ke Jakarta untuk menengok. Saat itulah aku meminta membawa sebagian kecil tabungan untuk memperbaiki rumah kami menjadi rumah dengan lantai keramik dan dinding batu seperti yang diimpikan Haikal selama ini.

Aku mengabarkan pada keluargaku kalau aku akan pulang. Kali ini aku naik pesawat. Tak lagi menyusuri jalanan nan rumit Pulau Sumatera, tapi memakai kendaraan cepat. Kuceritakan dengan bangga pada orangtuaku melalui surat. Dalam surat juga kusebutkan kalau sekarang aku bisa membelikan mereka telepon genggam. Suatu hari nanti takkan perlu lagi kami berkirim surat.

Dan aku melupakan sang Ombak…

Bersambung....
Read More

Friday 16 November 2012

Chika Yang Hebat

Undangan berwarna-warni yang dicetak sendiri oleh putriku bertebaran di atas meja belajarnya. Dengan riang sambil mendendangkan lagu One Direction terbaru, ia menuliskan nama-nama teman-temannya yang akan ia undang. Pesta ulang tahunnya yang ke sebelas akan diselenggarakan akhir minggu ini dan ia mengundang beberapa teman perempuannya ke rumah. 
Read More

Saturday 1 September 2012

Kisah Lelaki Tua


Seorang lelaki tua berkisah,

Dulu bagai seekor garuda, aku terbang menjelajah dunia, menatap tajam mencari mangsa, memburu setiap anjangsana, menelusuri sudut desa dan kota, meninggalkan jejak di bukit landai dan gunung yang terjal...

Dulu seperti sebuah kapal besar, aku berlayar menerobos badai, menembus gulungan ombak, menegakkan tiang-tiang agar tetah kokok menghadapi tantangan yang datang...

Dulu bagai beringin, aku tumbuh menjadi batang yang kokoh, tegak berdiri meski angin menusuk menggoyahkan, meski daun-daunku terkoyak, aku tetap kuat tak bergerak. Utuh menunggu dengan congkak...

Read More

Monday 27 August 2012

Gelas Rezeki


Aku sengaja mengajak istriku duduk di kursi tunggu klinik anak karena ingin melepas kangen kami yang belum juga dikaruniai seorang anak. Istriku paling suka duduk di sudut ruang tunggu itu, dengan begitu ia bisa bebas memperhatikan sekelompok anak yang meskipun sakit tetap bersemangat bermain di tempat permainan kecil yang disediakan pihak rumah sakit.
Hari ini tak seperti biasanya, kami datang bukanlah untuk memeriksakan kesehatan atau karena kami ada yang sedang sakit. Hari ini aku mengajak istriku ke dokter kandungan, aku ingin sekali memastikan bahwa kami masih memiliki harapan untuk mendapatkan seorang anak. Kalaupun tidak mungkin, aku ingin tahu siapa di antara kami yang membuat impian itu terhambat. Apakah aku atau istriku yang kurang subur?
Read More

Tuesday 31 July 2012

Kisah Ramadhan - Fitnah Itu Membunuhku


Kisah tentang Fitnah


Mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta besar yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia, memang membanggakan. Tapi resikonya adalah kita harus siap dipindahkan ke manapun apalagi kalau masih menjadi karyawan baru.

Saya mendapatkan pekerjaan tersebut dan ditempatkan di posisi keuangan. Pekerjaan tersebut membawa saya berkeliling di beberapa daerah di Indonesia, bahkan menemukan jodoh saya di belantara Kalimantan.


Pada prakteknya, di semua perusahaan sama saja. Ada tikus-tikus kotor yang berusaha mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari perusahaan. Inilah kesalahan terbesar saya saat itu, meskipun tahu aksi para tikus-tikus kotor itu, saya membiarkan semua itu terjadi karena tak ingin bermasalah dengan orang-orang kuat di belakang aksi tersebut. Saya memilih diam karena tahu kalau terbongkar, maka aksi ‘kejahatan terselubung’ itu akan menghancurkan hampir keseluruhan karyawan di departemen saya. Walaupun begitu, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari pekerjaan kotor itu dan tetap istiqomah dengan apa yang saya tuju, membina keluarga sakinah ma waddah warohmah bersama istri tercinta. Saya bahkan tak pernah menceritakan apapun pada istri, orang yang paling dekat pada saya saat itu.

Ternyata kebisuan saya itu menjadi bumerang. Dalam satu bulan, kapal kehidupan saya bagai dihempas di lautan terdalam dan karam. Saya mengalami percobaan pembunuhan dan hampir meninggal. Di tengah kemalangan itu, kami dihantam pula sebuah fitnah keji. Bahwa mantan pacar istri sayalah yang merencanakan semua itu. Padahal saya tahu betul, dua hari bahkan beberapa menit sebelum kejadian itu terjadi, sudah ada beberapa hal yang membuat saya tahu siapa sebenarnya di balik percobaan pembunuhan itu. Sayangnya, saya tak sempat mengumpulkan bukti-bukti dan ancaman itu makin jelas ketika saya melihat justru orang-orang itu berusaha keras mengaburkan fakta-fakta selama saya berada di rumah sakit.


Fitnah itu ‘membunuh’ kami berdua. Karier istri saya hancur dalam sehari, saya dipindahkan kembali ke kantor pusat. Belum lagi akibatnya, karena dugaan itu teman-teman istri saya yang rata-rata laki-laki semuanya diinterogasi oleh pihak kepolisian hingga membuat dia dijauhi teman-temannya. Padahal sebelum menikah, istri saya belum pernah berpacaran dan awalnya kami pun disatukan oleh persahabatan. Itu pula yang akhirnya membuat saya meminta pihak kepolisian menghentikan penyelidikan, karena saya merasa takkan ada gunanya melanjutkan tanpa bukti-bukti dan saya kuatir akhirnya malah membuat keluarga semakin terpuruk dengan fitnah-fitnah yang lebih kejam. Apalagi setelah kejadian yang menimpa saya, karyawan lain juga banyak yang mengalami hal-hal yang hampir mirip dan akhirnya memilih hengkang dari cabang perusahaan tersebut.


Secara tak langsung, fitnah itu juga membunuh karakter saya, mengubah kepribadian saya. Saya sudah merasakan kematian itu sekali, dan saya tak mau suatu hari nanti saat ajal benar-benar menjemput, saya justru berada dalam lingkaran setan. Saya tak mau menyembunyikan fakta penting sendirian, hingga membuat para tikus itu semakin merajalela.


Bertahun-tahun kemudian, saya mulai menyaksikan kejatuhan mereka. Orang-orang yang saya tahu terlibat di balik kejadian yang menimpa saya. Ada yang dipenjara, ada yang dipecat dan bahkan akhirnya duduk di kursi kantor tanpa memiliki jabatan atau fungsi apapun. Tapi entah mengapa tetap saja rasa dendam ini tak bisa hilang dari hati saya. Seseorang menasehati saya bahwa memaafkan orang-orang yang menyakiti kita memang sangat sulit, namun setelah itu insya Allah hati kita akan jauh lebih tenang dan lebih bahagia. Saya tersentuh dengan kata-kata itu, dan berusaha untuk memaafkan orang-orang yang selama ini telah menyakiti saya walaupun mereka tak pernah sekalipun memintanya. Kehadiran anak-anak dan istri serta teman-teman baru akhirnya bisa mengobati rasa sakit itu.


Hikmahnya saya mulai bisa merasakan ketenangan yang selama ini berusaha saya dapatkan. Istri saya juga mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik. Mungkin ini bisa disamakan seperti hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, karena kami juga melakukannya. Pindah ke kota lain agar bisa menjalani hidup yang baru. Kami memang memulai segalanya dari awal, tapi pelan-pelan kami memulainya dengan meluruskan niat dan menegakkan kebenaran.

Sekarang, setelah bertahun-tahun menghindari departemen yang sama, saya kembali dihadapkan pada posisi yang hampir sama yaitu menyelidiki kebobrokan keuangan. Kali ini dengan niat Lillahi Ta’ala, saya tak lagi merasa takut. Lebih baik mati dengan membela kebenaran, daripada mati konyol karena diam melihat kesalahan. Apalagi saya tahu bahwa iman yang paling lemah adalah saat kita mengetahui sebuah kesalahan tapi hanya menegurnya di dalam hati.


Istri saya hanya tersenyum miris ketika mendengar saya membuat seorang ibu hamil menangis. Saya juga sebenarnya kasihan, tapi ini demi menjaga kelurusan niat saya. Akan lebih baik saya menjaga agar ibu tersebut memelihara dirinya dari uang atau makanan yang haram agar anaknya lahir dengan darah yang benar-benar ‘suci’. Ketika saya selesai mengatakannya, istri saya berkata. “Ternyata memang benar kenapa fitnah itu disebut lebih kejam dari membunuh ya, sayang. Karena suamiku yang lama sudah mati bersama ketakutan dan kekuatirannya, suamiku yang sekarang adalah suami yang berani menegakkan kebenaran. Entah aku harus berterima kasih atau tidak, tapi yang jelas aku merasakan kebenaran Allah sekali lagi.”

Ya, fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan.

Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.
Read More

© Ruang Cerita, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena